“TNI dan kepolisian, harus di pihak yang netral, kalau tidak bisa berpihak pada rakyat, bukan pada pemodal yang menjadi alat penguasa yang membungkam kawan-kawan buruh,” katanya.
Pengacara LBH Jakarta mengingatkan para pengusaha agar tidak melakukan serangan balik terhadap mogok nasional.
“Siapapun yang menghalangi unjuk rasa adalah tindakan kejahatan. Misalnya pengusaha melakukan PHK terhadap buruh yang mogok kerja, itu merupakan penghalang-halangan serikat,” imbuhnya.
Ia menekankan sanksi penghalangan serikat pekerja bisa mencapai lima tahun penjara.
Kepolisian juga tidak semestinya melakukan tindakan represif seperti pada aksi Jumat, 30 Oktober 2015. Dalam aksi itu, kepolisian membubarkan unjuk rasa dengan alasan protes tidak boleh berlangsung hingga malam hari.
“Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 (tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat) menyebut demonstrasi bisa malam hari. Jam jam 6 itu hanya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia,” kata Maruli.
Gerakan buruh, katanya, memiliki kekuatan hukum untuk melakukan mogok nasional. Ini karena pemerintah dinilai melakukan pemiskinan struktural melalui PP Pengupahan. Selain itu, PP Pengupahan menutup ruang demokrasi karena membungkam aspirasi buruh. Padahal, Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.