Tolak Freeport, Markus Haluk: Waktunya Warga Papua Bersatu

Jum'at, 13 November 2015 | 20:47 WIB
Tolak Freeport, Markus Haluk: Waktunya Warga Papua Bersatu
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Penulis buku berjudul Menggugat Freeport: Jalan Keluar penyelesaian Konflik, Markus Haluk, mengatakan sekarang waktunya masyarakat Amungme, Papua, bersatu menolak perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Menurut dia, kompensasi untuk warga sekitar tambang emas tersebut tidak adil.

"Ini sudah waktunya masyarakat Amungme untuk bersatu. Saatnya kita membuka topeng, sebagai pemilik saham tanah PT. Freeport," kata Markus Haluk di gedung Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (13/11/2015).

Menurut Markus Haluk sudah dua kali (1967 dan 1991), kemungkinan untuk ketiga kalinya tahun 2021, perpanjangan kontrak karya Freeport tidak melibatkan warga. Padahal warga adalah pemilik tanah tempat pengerukan emas yang beroperasi sejak 1967.

Menurut Markus keberadaan masyarakat Amungme selalu dirugikan Freeport. Kerugiannya, di antaranya gunung dan danau rusak. Padahal, masyarakat menyakini orang yang meninggal dunia, rohnya akan naik ke daerah yang tinggi yakni ke atas gunung. Sementara gunung yang ada saat ini telah dirusak demi kepentingan bisnis Freeport.

Keyakinan masyarakat lokal, katanya, tidak dihargai. Ketika masyarakat Papua meminta kejelasan atas haknya, kata Markus Haluk, pemerintah melalui tentara malah melakukan operasi militer besar-besaran.

"Selama ini kekerasan selalu kami alami. Freeport melakukan eksploitasi secara fisik dan mental terhadap masyarakat Papua khususnya Amungme," kata Markus.

"Kami tidak mau menjadi korban lagi. Kami menyatakan stop pemerintah melakukan kongkalikong dengan PT. Freeport," Markus menambahkan.

Apa langkah selanjutnya kalau rakyat Papua tetap tidak dilibatkan dalam kontrak karya 2021, Markus mengatakan akan protes keras, tapi bukan dengan kekerasan fisik karena masyarakat akan ditindak aparat.

Itu sebabnya, sebelum terjadi protes, pemerintah diminta mengakui masyarakat Papua sebagai pemilik tanah ulayat dan pemilik saham Freeport. Karena masyarakat Papua telah ada sebelum ada gereja, pemerintah, apalagi Freeport.

"Kalau kami lakukan kekerasan maka kami yang habis. Makanya kami melakukan dengan cara-cara yang intelektual dengan cara membuat buku untuk menyampaikan keberatan," kata Markus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI