Suara.com - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana (Lulung) mempertanyakan independensi LSM Indonesia Corruption Watch (ICW), menyusul pelaporan ICW atas pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta berinisial EDN ke Majelis Kode Etik BPK RI.
"Yang saya komentarin itu saya dan masyarakat kebingungan sekarang, artinya independensinya ICW itu kemana sekarang," kata Lulung ketika dihubungi wartawan, Kamis (12/11/2015).
Anggota Fraksi PPP itu bahkan menilai, CW saat ini lebih membela Gubrnur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Apalagi ICW, dikatakan Lulung, tidak sedikit pun bersuara soal kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat.
"Masyarakat itu sudah melihat bahwa seolah-olah ini selalu membela Ahok. Jadi (ICW) nggak independen lagi," tegas Lulung.
Menurut Lulung soal kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras berdasarkan audit dari BPK menyatakan bahwa ada keruguan nrgara sebesar Rp191 miliar dalam kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras.
"Karena audit BPK itu kan jelas, kan BPK diprtinyakan oleh kpk untuk melakukan audit investigasi, kalau BPK yang memerintahkan ini berarti ada persoalan hukum di situ," kata Lulung.
"Kalau saya mengkritisi kenapa ini ICW jadi berubah, apakah nggak malu ICW? Seolah-olah sekarang membela perorangan tidak lagi ikut mengkritisi persoalan pemberantasan korupsi," jelas dia.
Ketua divisi riset ICW, Firdaus Ilyas telah melaporkan EDN ke Majelis Kode Etik BPK RI. EDN dilaporkan ICW karena diduga mencampuri kepentingan pribadi dengan kewenangannya atas Belanja Daerah pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.
Kasus tersebut bermula pada 30 Desember 2014, ketika BPK perwakilan DKI Jakarta mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) atas Belanja Daerah pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.
Dalam laporan tersebut diungkap temuan terkait ganti rugi pembebasan lahan seluas 9.618 m2 di tengah areal TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Menurut Firdaus, indikasi ini tercium dari tahun 2005, dimana EDN mengirimkan surat sebanyak 6 kali surat kepada Gubernur dan pejabat Pemprov DKI Jakarta agar membeli tanah tersebut.
Pada Juli 2005, pejabat BPK ini menawarkan agar tanah ini dibeli, bahkan surat terakhir pada 2013, dia juga mengirimkan surat kepada BPK DKI Jakarta, untuk meminta klarifikasi atas status tanah tersebut.