Begini Suasana Pengadilan Rakyat Kasus HAM 1965 di Den Haag

Selasa, 10 November 2015 | 22:05 WIB
Begini Suasana Pengadilan Rakyat Kasus HAM 1965 di Den Haag
Ilustrasi Hak Asasi Manusia (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - The International People's Tribunal 1965 (IPT) atau Pengadilan Rakyat untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia 1965 di Den Haag, Belanda dibuka Selasa (10/11/2015). Banyak tokoh pembela HAM yang bicara di sana.

Sidang itu dibuka oleh Koordinator IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana. Dia berbicara tentang pembantaian 1965 yang dimulai pada 1 Oktober di tahun itu.

Nursyahbani menunjukkan bahwa 50 tahun telah berlalu sejak itu, sampai sekarang para korban masih mencari keadilan.

"Sekarang waktunya untuk memutus lingkaran setan dan terus penolakan untuk setengah abad," kata Nursyahbani.

Sidang itu dimulai selayaknya sidang. Panitera sidang, Szilvia Csevar mengundang para hakim untuk memasuki ruangan. Peserta sidang pun diminta berdiri.

Setelah pernyataan pembukaan Nursyahbani, Helen Jarvis, salah satu hakim dari Australia mengucapkan terima kasih kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu yang hadir untuk bersaksi di Tribunal. Jarvis, yang merupakan salah satu hakim dari Pengadilan PBB di Kamboja, memberikan pidato singkat. Dia memberikan penghargaannya atas upaya dan kemauan korban untuk bersaksi.

Kemudian hakim kepala sidang itu yang berasal dari Afrika Selatan, Zak Jacoob mengakui situasi yang penuh gejolak di Indonesia yang diikuti dengan kasus pembantaian pada tahun 1965. Dia menyatakan "serius mempertimbangkan" pertimbangan dan kesaksian yang akan diajukan.

Sidang itu disesaki 250 orang. Sejumlah media internasional dan Indonesia juga hadir.

Misi Pengadilan ini untuk memeriksa bukti atas kejahatan kemanusiaan masa lalu. Sidang mencari catatan sejarah dan ilmiah yang akurat dan menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional dengan bukti. Kesaksian akan diberikan oleh sejumlah dipilih korban dan korban baik dari Indonesia dan buangan politik saat ini tinggal di tempat lain.

Namun IPT ini bukan pengadilan pidana. Tidak ada mandat untuk menjamin keadilan dan pemberian kompensasi bagi para korban. Sidang akan menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk mendorong Indonesia menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. (1965tribunal)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI