Suara.com - Pengacara Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani mengatakan ada kesalahan pola pikir pemerintah dalam menyusun aturan remisi narapidana khususnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal pemberian remisi pada Pasal 58 RKUHP.
"Ada sejumlah permasalahan soal kesalahan pemikiran pemerintah pada pasal ini," ujar Julius saat konferensi pers Fasilitas Baru Narapidana: Perubahan atau Penyesuaian Sanksi Pidana Dalam Pasal 58 RKUHP di Bakoel Koffie, Jakarta, Jumat (30/10/2015).
Pasal 58 RKUHP yang mengatur soal dimungkinkan adanya perubahan putusan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengajukan permohonan. Permohonan tersebut bisa diajukan oleh narapidana yang bersangkutan, orangtua narapidana, wali, penasihat hukumnya, jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
Julius menjelaskan persoalan pemberian remisi, hak asimilasi dan pembebasan bersyarat sering disebut sebagai persoalan hak asasi manusia (HAM). Dia membantah persoalan ini sebagai persoalan HAM. Karena makna dari HAM sendiri adalah sesuatu yang telah melekat pada diri seseorang dari sejak lahir diantaranya agama, ras, suku, dan keyakinan. Menurut Julius, pemberian remisi atau penyesuaian maupun perubahan putusan pidana adalah hak yang melekat pada narapidana dengan syarat tertentu. "Pemberian remisi tentu tidak diberikan berdasarkan alasan agama, suku, bahasa, dan ras," kata Julius.
Julius menambahkan, pemberian remisi dalam pasal RKUHP tersebut dinilai bersifat diskriminatif. Sebab di satu sisi penjahat kelas kakap misalnya koruptor bisa saja tiba-tiba mendapatkan remisi dari kementerian hukum dan HAM atas nama HAM. Tapi, di sisi lain pemerintah malah masih melanggengkan adanya aturan hukam mati.
Akibatnya lembaga pemasyarakatan tak memiliki cukup kapasitas untuk menampung narapidana yang sangat banyak. Akibat narapidana yang terlalu banyak menyebabkan lapas over capacity.
Lebih parahnya lagi, pemerintah menjadikan hari-hari besar dikalender sebagai momen untuk memberikan remisi pada narapidana sebagai hadiah. Terang Julius, remisi diberikan saat hari besar keagamaan atau hari libur lainnya "Indikator pemberian remisi malah menjadi tidak jelas. Karena itu diperlukan reformasi hukum agar diatur pengetatan tata cara pemberian remisi," ungkap Julius.
(Muhamad Ridwan)