Suara.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa Oktober 2015 merupakan satu tahun pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Situasi ini menjadi momentum bagi Pemerintah Pusat untuk menegaskan kepatuhan para penyelenggara negara pada konsensus kehidupan kebangsaan yaitu konstitusi, sebagai landasan hidup bersama bangsa.
Azriana, Ketua Komnas Perempuan mengatakan kehidupan kebangsaan Indonsia saat ini sangat mengkhawatirkan,. Ditengah kokohnya landasan jaminan Hak Asasi Manusia yang di atur dalam konstitusi, justru muncul banyak pengabaian oleh banyak pihak termasuk oleh aparatur negara itu sendiri.
Situasi mengkhawatirkan tersebut, digambarkan dengan terus berlansungnya pelembagaan diskriminasi oleh negara melalui kebijakan Diskriminatif. Temuan Komnas perempuan atas tindakan kekerasan, anarkhisme serta diskriminasi yang di alami oleh kelompok-kelompok rentan, minoritas, dan lemah karena didasarkan oleh adanya peran aktif negara melalui kebijakan.
“Komnas Perempuan mencatat, dalam satu tahun terakhir (September 2014 – September 2015) sebanyak 31 kebijakan diskriminatif kembali dilahirkan di beberapa wilayah, seperti Aceh (8), Bengkulu (1), Jawa Barat (8), Jawa Timur (8), Kalimantan Selatan (1), Kepulauan Bangka Belitung (1), Nusa Tenggara Timur (1), Sulawesi Selatan (1), Sumatera Barat (1) dan Sumatera Selatan (1),” kata Azriana dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Rabu (28/10/2015).
Dari 389 kebijakan diskriminatif ini, 322 diantaranya berdampak langsung pada kehidupan perempuan (138 kebijakan mengkriminalisasi perempuan, 30 kebijakan mengatur ruang dan relasi personal, 100 kebijakan tentang pemaksaan busana, 39 mengatur jam malam, 15 mengatur tentang pembatasan mobilitas perempuan), dan 54 diantaranya membatasi jaminan kebebasan hidup beragama warga negara. Aksi anarkhisme kelompok intoleran pada kelompok minoritas agama, menjadi terlegitimasi karena adanya kebijakan atas tindakan intoleransi tersebut. Bahkan pemaksaan menjalankan keyakinan kelompok tertentu, atau justru pelarangan atas keyakinan yang dianut sehingga terjadi pengusiran, berdampak pada ketidakpastian hukum, pemiskinan, dan konflik sosial.
Kebijakan diskriminatif ini bukan saja telah melegalkan pembatasan ruang gerak perempuan dan kesewenangan penangkapan. Dalam sejumlah kasus di Aceh, kekerasan seksual dan penghakiman massa juga dialami perempuan dalam proses penegakannya, dan pemerintah terkesan membiarkan.
Dari 389 kebijakan diskriminatif ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dan diproduksi oleh pemerintah nasional maupun pemerintah daerah. Pemberlakuan Qanun Jinayat dan Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh, adalah salah satu contoh ketidakpatuhan Pemerintah Daerah pada Prinsip-prinsip Konstitusi, karena kedua qanun tersebut meruntuhkan jaminan atas hak asasi manusia (melalui pemberlakuan hukum cambuk sebagai mekanisme penghukuman, dan pengkondisian masyarakat untuk menganut satu keyakinan tertentu). Pemberlakuan kedua qanun ini meruntuhkan kehidupan majemuk dan kebhinekaan bangsa.
"Dalam satu tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat ada 23 perda yang telah dimintai klarifikasi oleh Menteri Dalam Negeri paska Komnas Perempuan menyampaikan hasil temuannya tentang keberadaan 365 kebijakan diskriminatif di sejumlah daerah di Indonesia, pada Agustus 2014," ujar Azriana.