Suara.com - Jene Katleya membersihkan sisa darah dan lendir di sekujur badan bayi perempuan itu untuk kedua kalinya. Sebab bidan yang membantu kelahiran Nadjwa tidak tuntas membersihkan.
Tangan Jane telaten membasuh sudut ketiak dan leger Nadjwa. Tetangga Jane yang melihat kelahiran Nadjwa menyarankan Nadjwa diasuh oleh Jane. Sebab terlihat Jane yang merupakan waria atau transgender bisa memandikan bayi dengan baik.
"Sudah deh anaknya dirawat sama si embu (panggilan akrab Jane) saja. Kan si embu nggak punya anak. Lagian merawatnya telaten yah," kata Jane menirukan seorang ibu yang ada saat kelahiran Nadjwa.
Nadjwa adalah putri kelima dari kakak kandung Jane. Ibunda Nadjwa meninggal dalam persalinan. Karena alasan ekonomi, akhirnya anak perempuan yang tahun ini berusia 7 tahun itu diadopsi Jane. Semua kebutuhan, mulai dari sandang dan papan ditanggung Jane. Termasuk biaya pendidikan.
Sejak kecil, bayi Nadjwa diasuh Jane meski dia sibuk dengan usaha tata rias dan pengantin di kontrakannya di daerah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sekarang anak perempuan berambut panjang dan berpipi tembem itu duduk di kelas 1 SD di dekat rumah Jane. Hari-hari Nadjwa selepas pulang sekolah dihabiskan dengan bermain bersama ayah angkatnya yang juga suami Jane, Hamid Ruhidin.
Selama 19 tahun hidup bersama dengan suaminya, Jane mendambakan mempunyai seorang anak dan menjadi 'ibu seutuhnya'. Namun itu tidak bisa dia dapat, karena Jane seorang lelaki. Makanya di usia 'pernikahannya' yang ke-12 tahun, dia dan Hamid memberanikan diri mengadopsi Nadjwa yang bernama lengkap Nadjwa Katleya itu.
"Saya ingin merawat dia, dan menjadikannya anak. Anak saya, selayaknya anak kandung," cerita Jane.
Hanya saja, sampai saat ini Nadjwa belum resmi menjadi anak adopsi Jane dan Hamid. Dia tidak bisa mengurusnya secara resmi di lembaran negara.
"Kartu keluarga saya saja masih menginduk ke orangtua, KTP saya juga bermasalah," alasan Jane.
Sebagai waria, dia sering mendapatkan diskriminasi untuk mengurus dokumen negara. Paling mendasar, soal mengurus KTP. Sebab dia tidak bisa mengubah jenis kelamin dalam KTP menjadi 'laki-laki'. Belum lagi, status hubungannya dengan Hamid pun tidak tercatat di lembaran penikahan. Padahal mereka sudah tinggal serumah hampir 20 tahun.
"Waktu Nadjwa buat akte kelahiran, dia induknya ke kakak saya. Kartu keluarganya masih tercatat di ayah kandungnya. Istilahnya saya masih mengadopsi hanya secara fisik, materi dan kasih sayang. pendokumentasiannya (surat-surat) tetap sama kakak," cerita Jane saat berbincang dengan suara.com akhir pekan lalu.
Jane dan suaminya tidak terlalu berharap banyak untuk bisa mengubah status Nadjwa sebagai anak adopsinya. Yang terpenting, menurut Jane, Nadjwa bisa mengakuinya sebagai ibu asuhnya dan menerimanya sebagai seorang transgender.
"Saya nggak mau mengklaim dia sebagai anak saya. Saya akan bilang nanti kalau Nadjwa sudah besar, kalau saya hanya merawat. Saya akan bilang ibu kandungnya meninggal saat melahirkan. Lebih baik anak tahu apa adanya," kata Jane.
Bersuamikan lelaki tulen
Jane beruntung bisa tinggal selayaknya berumah tangga dengan suaminya, dan bisa mengasuh anak di rumah. Kata Jane, tidak banyak waria di komunitasnya yang berani terbuka menyatakan memiliki suami dan mengasuh anak.
"Ancaman kami selain negara yang tidak mengakui dan tidak melindungi, adalah masyarakat yang tidak menerima adanya transgender," katanya.
Penolakan itu juga dia alami saat tahun-tahun pertama Jane dan Hamid berumah tangga. Saat itu Jane masih tinggal dan membuka salon di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Darmaga, Bogor. Jane dan suaminya ingin diusir karena dianggap mendatangkan 'sial'.
"Pak RT di sana datang ke rumah untuk menegur. Tanya, itu siapa, saya bilang itu suami saya. Kata dia, ada warga yang merasa keberatan kalau babeh (panggilan Hamid) tinggal di sini. Kalau main sih nggak apa-apa, asal jangan menginap. Karena dianggap mendatangkan sial membuat usaha perdagangan di sana sulit berkembang," cerita Jane.
Jane menganggap alasan itu tidak masuk akal dan dibuat-buat.
"Kalau waria bikin sial, warga Jakarta bakal lebih sial dan miskin dari di sini (Bogor). Karena di sana lebih banyak warianya. Tapi buktinya orang Jakarta lebih kaya," kata Jane menirukan argumennya saat itu.
Jane pun tidak ingin menikah tanpa status jelas dengan suaminya. Dia ingin menikah resmi, namun Undang-Undang Pernikahan di Indonesia tidak mengatur pernikahan sesama jenis seperti yang dilakukan Jane dan Hamid.
"Kalau suami saya di sini diusir karena nggak bisa menikah, kan bukan karena salah saya. Karena memang nggak ada undang-undangnya kalau transgender seperti saya bisa menikah dengan lelaki. Kalau ada undang-undangnya, saya juga mau menikah resmi," lanjur Jane.
Jane dan Hamid mulai tinggal bersama sebagai suami-istri sejak tahun 1996. Saat itu usia Jane 25 tahun dan Hamid 26 tahun. Mereka berkenalan saat Jane datang ke sebuah pesta pernikahan. Hamid yang kala itu duda beranak satu, suka dengan Jane. Hamid sudah 3 kali menikah dengan perempuan sebelum akhirnya menjadi suami Jane.
"Kalau perempuan dan laki-laki untuk berumah tangga kan harus melalui gerbang pernikahan. Kalau transgender kan nggak melewati itu. Begitu ketemu, saling suka. Mungkin hari itu, besok, atau lusa melakukan hubungan intim. Lama kemudian kita kangen-kangenan dan ketemu lagi. kalau di komunitas waria kalau sudah serumah itu sudah menjadi suami istri. Kita tinggal bersama, itu lah kita anggap sebagai menikah," papar Jane.
Jane sudah menyadari sifat feminimnya sejak SD. Dia senang bermain boneka dengan anak perempuan sebaya, mencuci baju, dan mengepel lantai rumahnya. Bahkan dia suka menggunakan bedak dan gincu atau lypstic. Sang orangtua tahu dengan tingkah laku berbeda anak lelakinya itu.
"Dari kecil, dari SD kalau dapat uang saya mikirnya mau opersi kelamin. Karena saya pernah baca di koran Dorce Gamalama lakukan operasi kelamin. Keluarga cukup demokratis, nggak ekstrim banget kayak beberapa teman sampai dipukuli," kata Jane yang sampai saat ini tidak mengganti kelaminnya.
"Operasi kelamin mahal sampai Rp100 juta, saya berpikir fokus mau membuat panti jompo untuk waria," jelasnya.
Mempunyai suami, membuat hidup Jane tidak sepi. Dia mempunyai teman untuk mengobrol. Terlebih Hamid pun dia nilai tulus mencintai. Bahkan Jane dan Hamid bersama merintis usaha sewa menyewa alat pernikahan dan rias.
Kontrakan mereka penuh dengan peralatan dekorasi mulai dari backdrop pelaminan, tenda besi, baju pengantin, bangku kursi sampai peralatan makan untuk pesta. Hampir tidak ada ruang lega saat suara.com mengunjungi kontrakan mereka. Pendapatan dari usia itu cukup besar dan bisa menjadi biaya hidup Jane, Hamid dan anak asuhnya, Nadjwa.
BERITA MENARIK LAINNYA:
Logam Angkasa Misterius Akan Jatuh di Bumi Bulan Depan
Terkunci dalam "Cyrochamber", Manajer Salon Tewas Membeku
8 Cara Menabung yang Baik dan Efektif
Foto Gunung Es 'Pembunuh' Kapal Titanic Laku Ratusan Juta Rupiah
Ikatan batin
Jane dan Hamid berkomitmen terus hidup bersama, meski tidak ada jaminan tertulis soal komitmen itu. Karena mereka tidak menikah resmi.
"Ikatan batin dan rasa saling membutuhkan yang akan dijadikan 'tali pengerat' hubungan kami," kata Hamid.
Dia mengatakan sampai saat ini masih ingin hidup bersama Jane karena istrinya itu dianggap bisa menutupi kekurangannya. Dia menjadi lelaki yang bisa mengatur keuangan. Hidup lelaki berkumis itu pun menjadi teratur dan tenang.
"Dia bisa rem kejelekan saya. Hidup ini jadi tenang dan teratur. Meski masih ada yang bilang, saya hanya memanfaatkan harta Jane saja. Tapi biarlah. Saya susah kebal," katanya seraya tertawa.
Sementara Jane, tidak ingin hidup dalam ketakutan jika suatu saat nanti Hamid meninggalkannya. Dia percaya, jika kehidupan rumah tangga memang penuh luku, selayaknya rumah tangga di kaum hetero seksual.
"Kita justru, karena tidak ada ikatan maka tidak ada komitmen. Jalani saja. Kalau dia mau nikah lagi dengan perempuan, nikah saja. Pernikahan penuh lika-liku, dan kita sudah tahu karekter kita masing-masing. Saya percaya si babeh," tutup Jane.
Pemenuhan hak LGBT
Berkaca dari kisah Jane dan Hamid, Direktur Suara Kita Hartoyo mengatakan belum ada kelompok LGBT yang mengadopsi seorang anak secara formal dengan mendapatkan izin dari negara.
"Adopsi anak banyak dilakukan oleh kawan-kawan LGBT. Umumnya LGBT punya anak angkat, minimal jadi orangtua asuh. Misalnya untuk sekolahnya, baik yang tinggal bersama LGBT maupun yang cuma jadi orangtua asuh. Tapi kalau yang adopsi formal, secara hukum tidak banyak dilakukan," kata dia.
Toyo, begitu panggilan Hartoyo bercerita pernah ada pasangan gay yang izin negara untuk mengadopsi anak secara resmi. Namun itu tidak bisa dilakukan karena dilarang pasangan sejenis mengadopsi anak secara formal.
"Akhirnya tidak meyebutkan sebagai identitas LBGT," kata Toyo.
Larangan pasangan sejenis untuk mengadopsi anak diatur dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 110/HUK/2009 pasal 7 tentang persyaratan pengangkatan anak. Dalam pasal 7 Permen itu disebutkan syarat calon orangtua asuh (COTA). Di butir 'F' disebutkan, "tidak merupakan pasangan sejenis".
Kementerian Sosial melansir jumlah resmi waria sampai tahun 2010 mencapai 31.179 orang. Sementara di tahun 2015 sudah mencapai 35 ribu orang. Data lain juga ada yang menyebutkan di tahun 2009 jumlah waria sudah mencapai 6 juta orang.
Dari jumlah itu, kebanyakan kaum transgender masih mendapatkan distriminasi. Ketua Forum Waria, Yulianus Rotteblout menjelaskan diskriminasi itu meliputi sulitnya memperoleh pekerjaan sampai kekerasan fisik dan verbal.
Padahal negara wajib melindungi waria yang menjadi bagian dari warga negara. Ini tercantum dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Ancaman nyata untuk transgender terdapat dalam Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun itu mulai berlaku 23 September kemarin setelah disahkan oleh DPR Aceh pada 27 September 2014 lalu. Kaum lesbian dan gay pun ikut terancam.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menilai rumusan norma pidana di beberapa pasal Qanun berpotensi menyasar kelompok rentan. Termasuk kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Pasal itu di antaranya pasal 63 tentang liwath dan pasal 64 tentang musahaqah.
Naskah qanun mengartikan liwath sebagai hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki. Sementara musahaqah diartikan sebagai hubungan seksual antara perempuan dengan perempuan. Pelanggaan pasal itu mendapat ancaman hukuman 100 kali cambuk atau didenda emas 1 kg.
Pengakuan keberadaan LGBT di Indonesia belum nyata. Aktivis LGBT senior, DR. Dede Oetomo Ph.D mengatakan belum ada undang-undang Indonesia yang eksplisit menyebut orientasi seksual dan identitas gender. Namun secara teoretik perlindungan dari diskriminasi ada di Undang-Undang Dasar 1954 pasal 28i ayat 2.
"Dasar UUD 45 pasal 28i ayat 2 bisa jadi celah (pengakuan LGBT di Indonesia), tapi yang merasa didiskriminasi perlu memerkarakan pihak yang mendiskriminasi ke pengadilan," analisa Dede.
Jane dan suaminya berharap pemerintah yang saat ini dipimpin oleh Joko Widodo bisa memberikan ruang perlindungan ke kelompok LGBT. Selain itu tidak mempersulit pasangan LGBT untuk mengadopsi anak.
"Harapan besarnya bisa menikah resmi," tutup Jane.
BERITA MENARIK LAINNYA:
Akhirnya, Kabut Asap Sampai di Langit Jakarta