Kisah Waria Bersuami dan Anak Adopsinya

Senin, 26 Oktober 2015 | 06:17 WIB
Kisah Waria Bersuami dan Anak Adopsinya
Jene Katleya dan pasangan hidupnya. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ikatan batin

Jane dan Hamid berkomitmen terus hidup bersama, meski tidak ada jaminan tertulis soal komitmen itu. Karena mereka tidak menikah resmi.

"Ikatan batin dan rasa saling membutuhkan yang akan dijadikan 'tali pengerat' hubungan kami," kata Hamid.

Dia mengatakan sampai saat ini masih ingin hidup bersama Jane karena istrinya itu dianggap bisa menutupi kekurangannya. Dia menjadi lelaki yang bisa mengatur keuangan. Hidup lelaki berkumis itu pun menjadi teratur dan tenang.

"Dia bisa rem kejelekan saya. Hidup ini jadi tenang dan teratur. Meski masih ada yang bilang, saya hanya memanfaatkan harta Jane saja. Tapi biarlah. Saya susah kebal," katanya seraya tertawa.

Sementara Jane, tidak ingin hidup dalam ketakutan jika suatu saat nanti Hamid meninggalkannya. Dia percaya, jika kehidupan rumah tangga memang penuh luku, selayaknya rumah tangga di kaum hetero seksual.

"Kita justru, karena tidak ada ikatan maka tidak ada komitmen. Jalani saja. Kalau dia mau nikah lagi dengan perempuan, nikah saja. Pernikahan penuh lika-liku, dan kita sudah tahu karekter kita masing-masing. Saya percaya si babeh," tutup Jane.

Pemenuhan hak LGBT

Berkaca dari kisah Jane dan Hamid, Direktur Suara Kita Hartoyo mengatakan belum ada kelompok LGBT yang mengadopsi seorang anak secara formal dengan mendapatkan izin dari negara.

"Adopsi anak banyak dilakukan oleh kawan-kawan LGBT. Umumnya LGBT punya anak angkat, minimal jadi orangtua asuh. Misalnya untuk sekolahnya, baik yang tinggal bersama LGBT maupun yang cuma jadi orangtua asuh. Tapi kalau yang adopsi formal, secara hukum tidak banyak dilakukan," kata dia.

Toyo, begitu panggilan Hartoyo bercerita pernah ada pasangan gay yang izin negara untuk mengadopsi anak secara resmi. Namun itu tidak bisa dilakukan karena dilarang pasangan sejenis mengadopsi anak secara formal.

"Akhirnya tidak meyebutkan sebagai identitas LBGT," kata Toyo.

Larangan pasangan sejenis untuk mengadopsi anak diatur dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 110/HUK/2009 pasal 7 tentang persyaratan pengangkatan anak. Dalam pasal 7 Permen itu disebutkan syarat calon orangtua asuh (COTA). Di butir 'F' disebutkan, "tidak merupakan pasangan sejenis".

Kementerian Sosial melansir jumlah resmi waria sampai tahun 2010 mencapai 31.179 orang. Sementara di tahun 2015 sudah mencapai 35 ribu orang. Data lain juga ada yang menyebutkan di tahun 2009 jumlah waria sudah mencapai 6 juta orang.

Dari jumlah itu, kebanyakan kaum transgender masih mendapatkan distriminasi. Ketua Forum Waria, Yulianus Rotteblout menjelaskan diskriminasi itu meliputi sulitnya memperoleh pekerjaan sampai kekerasan fisik dan verbal.

Padahal negara wajib melindungi waria yang menjadi bagian dari warga negara. Ini tercantum dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Ancaman nyata untuk transgender terdapat dalam Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun itu mulai berlaku 23 September kemarin setelah disahkan oleh DPR Aceh pada 27 September 2014 lalu. Kaum lesbian dan gay pun ikut terancam.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menilai rumusan norma pidana di beberapa pasal Qanun berpotensi menyasar kelompok rentan. Termasuk kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Pasal itu di antaranya pasal 63 tentang liwath dan pasal 64 tentang musahaqah.

Naskah qanun mengartikan liwath sebagai hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki. Sementara musahaqah diartikan sebagai hubungan seksual antara perempuan dengan perempuan. Pelanggaan pasal itu mendapat ancaman hukuman 100 kali cambuk atau didenda emas 1 kg.

Pengakuan keberadaan LGBT di Indonesia belum nyata. Aktivis LGBT senior, DR. Dede Oetomo Ph.D mengatakan belum ada undang-undang Indonesia yang eksplisit menyebut orientasi seksual dan identitas gender. Namun secara teoretik perlindungan dari diskriminasi ada di Undang-Undang Dasar 1954 pasal 28i ayat 2.

"Dasar UUD 45 pasal 28i ayat 2 bisa jadi celah (pengakuan LGBT di Indonesia), tapi yang merasa didiskriminasi perlu memerkarakan pihak yang mendiskriminasi ke pengadilan," analisa Dede.

Jane dan suaminya berharap pemerintah yang saat ini dipimpin oleh Joko Widodo bisa memberikan ruang perlindungan ke kelompok LGBT. Selain itu tidak mempersulit pasangan LGBT untuk mengadopsi anak.

"Harapan besarnya bisa menikah resmi," tutup Jane.

BERITA MENARIK LAINNYA:

Akhirnya, Kabut Asap Sampai di Langit Jakarta

12 Tewas di Inul Vizta, Shaheer Curhat di Twitter

Studi: Kematian Manusia Bisa Diendus Lewat Baunya

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI