Transparansi Pemerintahan Jokowi Dinilai Merosot

Rabu, 21 Oktober 2015 | 15:04 WIB
Transparansi Pemerintahan Jokowi Dinilai Merosot
Presiden Joko Widodo membuka pameran perdagangan atau Trade Expo 2015 yang ke 30 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2015). [suara.com/Dian Kusumo Hapsari]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komitmen Open Government Partnership (OGP) yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla terus merosot selama setahun pememrintahan mereka. Salah satu yang dinilai adalah transparansi pemerintahan.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Ilham Saenong menjelaskan pemerintah belum membentuk kebijakan yang jelas untuk mengoperasikan secara konkrit inisiatif OGP. Padahal OGP merupakan inisiatif multipihak yang berfokus untuk meningkatkan pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif dalam melayani publik.

"Selepas pembubaran Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tahun lalu, belum ada institusi mana pun yang menggantikan kedudukannya sebagai leading agency inisiatif OGP," kata Ilham saat berbincang dengan suara.com, Rabu (21/10/2015).

Akibatnya, lanjut Ilham, program-program transparansi dan keterbukaan tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam kasus tertentu, pemerintah cenderung berlawanan dengan prinsip keterbukaan. Ini bermuara kepada memperlambat upaya pemberantasan korupsi.

Dlaam RPJMN 2015-2019 memang menyebutkan pengarusutamaan open government dalam tatakelola pemerintahan. Namun itu dinilai tak berjalan.

OGP ini diluncurkan 20 September 2011 lalu oleh 8 negara pemrakarsa. Di antaranya Brazil, Indonesia, Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat. OGP beranggotakan 65 negara.

Presiden diminta menerbitkan Perpres atau Inpres yang khusus memandatkan pengelolaan OGP. Sebab prinsip OGP harus tercermin dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Global (Sustainable Development Goals/SDGs) yang disahkan bulan lalu.

"Tanpa kerangka legal yang jelas, OGP seperti ‘roh gentayangan’, tidak memiliki tubuh yang definitif. Dampaknnya nanti, pelaksanaan SDGs yang tanpa dibarengi keterbukaan pemerintah dan partisipasi publik akan amburadul," lanjutnya.

REKOMENDASI

TERKINI