Suara.com - Indonesia ditetapkan sebagai negara produsen polusi terbesar ketiga di dunia pada tahun ini, melebihi India. 'Prestasi' itu diraih Indonesia akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, yang hingga kini masih terjadi.
Padahal, kepada PBB, Indonesia telah berjanji untuk memerangi perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030.
Dengan kebakaran hutan, terget tersebut, agaknya sulit tercapai. Apalagi 75 persen emisi Indonesia berasal dari deforestasi, pembukan lahan gambut dan kebakaran hutan setiap tahun.
Secara teori, Indonesia bisa memangkas polusi gas rumah kaca dengan membatasi ekpansi pembukaan lahan gambut. Tapi, nyatanya, pembatasan tersebut gagal. Malah, ekspansi pembukaan lahan semakin buruk dan tidak terkendali di Indonesia.
"Pembukaan dan pembakaran lahan adalah masalah utama bagi Indonesia. Pembakaran lahan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar. Apalagi ini sudah terjadi selama puluhan tahun," kata Dr Guido van der Werf, dari Fakultas Bumi dan Ilmu Pengetahuan di Universitas Vrije Amsterdam.
"Kebakaran hutan di Indonesia saat ini dua kali lebih besar dari emisi tahunan yang dihasilkan Australia. Dan bisa dua kali lipat leboh besar lagi karena musim penghujan belum tiba," ujarnya.
Satu miliar ton karbon dioksida
Dr van der Werf, spesialis dalam memperkirakan emisi gas rumah kaca dari kebakaran, mengatakan bahwa kebakaran hutan di Indonesia diperkirakan telah melepaskan sebanyak satu miliar ton karbon dioksida.
Sebagai perbandingan, Jepang yang merupakan negara nomor lima produsen polusi dunia melepaskan sekitar 1,3 miliar ton karbon dioksida. Sementara India, melepaskan 2,5 miliar ton karbon dioksida.
Kebakaran hutan di Indonesia tentu amat disayangkan. Sebab, Indonesia merupakan negara terbaik di Bumi yang dapat melawan perubahan iklim karena memiliki hutan hujan dan hutan bakau yang mampu menyerap karbon dioksida.
"Indonesia adalah paru-paru untuk atmosfer, dan lahan gambut yang bertindak seperti bank karena menyimpan deposit karbon yang dibangun selama ribuan tahun," ujarnya. (Asiaone)