Hukum Lebih Berat Lagi Predator Anak

Suwarjono Suara.Com
Sabtu, 17 Oktober 2015 | 10:27 WIB
Hukum Lebih Berat Lagi Predator Anak
Kampanye penghapusan kekerasan anak [suara.com/Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahun. Upaya penegak hukum seakan tidak menimbulkan efek jera. Bahkan kekerasan terus muncul di Tanah Air hingga memicu keprihatinan mendalam. Dibutuhkan aksi nyata agar tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Pada 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 ada 4.311 kasus, 2014 ada 5.066 kasus.

Belum lama ini, ditemukannya PNF (9) dalam kondisi tidak bernyawa di dalam kardus tidak jauh dari kediamannya di kawasan Kalideres Jakarta Barat, diduga juga menjadi korban predator anak.

Hal itu dipastikan dengan pernyataan Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti bahwa tersangka A (39) merupakan pedofilia.

"Kami mendapatkan hasil autopsi yang menggambarkan terjadinya persetubuhan paksa yang dilkakukan oleh pelaku kepada korban. Kondisi ini menjadikan pelaku diduga mengalami kelainan psikoseksual atau paedofil," ungkap Krishna Murti di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dijelaskan Krishna, sesuai dengan kajian akademis yang sudah banyak dijelaskan, umumnya orang pedofilia punya ciri-ciri "single" dan suka tinggal sendiri.

Selain itu, pengidap pedofilia juga suka dekat dengan anak-anak serta melakukan nisbi banyak aktivitas dengan mereka.

Pada umumnya, lanjut dia, para pelaku kenal dengan calon korban mereka, hingga kemudian dari kedekatan tersebut praktik untuk menarik korban dilakukan dengan menawarkan sebuah imbalan.

Selain itu, kata dia, para pedofil gemar memberi imbalan kepada korban mereka.

Perberat Hukuman Predator Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa meminta pelaku kekerasan pada anak diberikan hukuman yang berat untuk memberikan efek jera.

"Kalau ada kekerasan seksual juga fisik, maka proses pemberatan hukuman menjadi penting supaya ada efek jera bagi siapa pun pelakunya," ucap Mensos.

Selain itu, pemberatan hukuman juga untuk mencegah munculnya efek berantai karena para predator anak juga akhirnya akan "melahirkan" perdator baru. Korban predator akan menjadi predator baru.

"Jadi korban pedofil, korban sodomi itu bisa berantai, dari pola yang seperti ini maka pemberatan hukuman menjadi sesuatu yang semestinya diberikan ruang," ujar Mensos.

Pemberatan hukuman bisa diberikan di pengadilan dalam vonis hakim. Bentuknya bisa apa saja, misalnya, hukuman berlapis hingga hukuman mati.

Bahkan di beberapa negara seperti Amerika dan Eropa, para predator anak ini dihukum dengan memutus syaraf libido sehingga mereka tidak bisa lagi memangsa anak-anak, tambah Mensos.

"Selain dengan operasi kecil, bisa juga dilakukan dengan dioleskan zat kimia tertentu sehingga syaraf libidonya akan lemah. Ada yang mati ada yang melemah sampai 90 persen," tukasnya.

Selain pemutusan syaraf libido, di beberapa negara melakukan hukuman sosial. Setelah predator divonis oleh pengadilan maka gambar atau foto wajah predator tersebut ditempel di tempat umum, termasuk di sekolah-sekolah.

"Cara-cara seperti ini harus dijadikan ruang diskusi kita supaya nanti pertimbangan-pertimbangan pemberatan itu bisa menjadi penguatan bagi hakim ketika akan memvonis," imbuh Mensos Khofifah.

Upaya Perlindungan Terkait kekerasan terhadap anak, upaya perlindungan merupakan kewenangan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak.

Sementara ketika terjadi kekerasan, penelantaran atau pembiaran, maka proses rehabilitasi dan konseling menjadi kewenangan Kementerian Sosial, jelas Khofifah.

Dia menjelaskan, dalam UU perlindungan anak, kewajiban yang utama dan pertama untuk memberikan perlindungan kepada anak adalah keluarga.

"Karena itu saya ingin mengajak seluruh keluarga di negeri ini bahwa tanggung jawab mendidik, membimbing dan melindungi anak menurut UU ada dalam keluarga," tuturnya.

Kementerian Sosial menurut Khofifah pernah merekomendasikan memaksimalkan pendidikan pranikah supaya calon suami dan calon istri atau calon orang tua memahami tugas dan fungsinya kelak ketika mereka mengambil keputusan memiliki keturunan.

Dia juga menegaskan agar ketika pelaku kekerasan, penelantaran, hingga kasus seksual adalah keluarga, maka perlu dilaporkan ke penegak hukum dan dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku guna memberi efek jera.

Untuk pemantauan di lingkungan sekitar, terutama di level paling bawah yaitu RT/RW, Kemensos juga sudah mengirimkan surat ke Kementerian Dalam Negeri untuk meminta setiap daerah mengaktifkan Satuan Tugas Perlindungan Sosial.

"Agar diaktifkan Satgas Perlindungan Sosial di RT/RW dengan jumlah lima hingga 10 orang petugas untuk memantau masalah sosial di setiap Rukun Tetangga," ujar Khofifah.

Instruksi pembentukan Satgas Perlindungan Sosial menurut Mensos sudah dilayangkan Kemendagri kepada bupati/wali kota sejak Mei lalu.

Disisi inilah diperlukan kekompakan dan peran masyarakat dalam mencegah kekerasan kepada anak.

Masyarakat sekitar merupakan pihak di luar keluarga yang dapat mengetahui berbagai hal perilaku, terutama jika ada ancaman, sehingga menjadi salah satu unsur pelindung aktif anak itu sendiri.

Perlindungan terhadap anak dari berbagai bentuk kekerasan tidak boleh hanya masif dilakukan ketika muncul suatu kasus, tapi tetap harus digaungkan setiap saat agar tidak ada lagi korban-korban anak yang berjatuhan. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI