Suara.com - Direktur Program Imparsial Al Araf khawatir pembentukan kader bela negara akan memunculkan milisi atau paramiliter sehingga mengancam keamanan nasional. Kader bela negara akan dibentuk Kementerian Pertahanan.
"Pembentukan kader bela negara yang dilatih dasar kemiliteran itu berpotensi melahirkan milisi baru, dan itu nanti bisa jadi masalah," kata Al Araf dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Rabu (14/10/2015).
Dalam sejarah Indonesia, kata Al Araf, paramiliter seringkali menjadi bagian dari konflik, seperti di Timor Leste, Aceh, Papua, dan Pamswakarsa di Jakarta.
Al Araf menilai ada kontra dengan prinsip HAM ketika ditekankan warga negara yang menolak ikut program bela negara silakan angkat kaki dari Indonesia.
"Bahkan, komisi tinggi HAM PBB (OHCHR) juga telah mengeluarkan resolusi mengenai adanya hak untuk menolak partisipasi wajib militer melalui resolusi 1998/77. Pemerintah juga harus memiliki konsiderasi khusus atas penerapan hukum pengungsi internasional yang memberikan jaminan perlindungan bagi setiap individu pengungsi yang mendapatkan persekusi dari penolakan atas sifat wajib bela negara di Indonesia, dengan terpenuhinya elemen well founded of fear," katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai alasan Kementerian Pertahanan membentuk program bela negara untuk membangun rasa nasionalisme, tidak tepat. Seharusnya, kata dia, nilai-nilai nasionalisme dimasukkan ke dalam sistem pendidikan dan menjadi kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Program bela negara dinilai belum jelas konsepnya. Program ini, katanya, juga bisa menjadi beban baru bagi anggaran negara, khususnya anggaran pertahanan.
Al Araf mengingatkan saat ini Kementerian Pertahanan dan TNI masih kekurangan anggaran pengadaan alutsista maupun dalam peningkatan kesejahteraan prajurit. Untuk pengadaan alutsista saja, Indonesia baru bisa menyelesaikan program minimum essential force pada 2024.
"itu artinya negara masih memiliki kekurangan anggaran untuk mendukung persenjataan TNI dan kesejahteraan prajurit sebagai komponen utama sistem pertahanan. Pembentukan bela negara oleh Kementerian Pertahanan dengan target 100 juta warga negara jelas akan menjadi beban bagi anggaran negara dan anggaran pertahanan," kata dia.
Al Araf mengatakan walau Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bela negara beda dengan wajib militer, program tersebut tetap bernuansa wajib militer.
"Rasa nasionalisme jangan dimaknai secara sempit berupa bentuk militerisasi sipil melalui pendidikan dan pelatihan dasar kemiliteran yang dicanangkan Menhan dalam bela negara itu. Bela negara harus dimaknai sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang lebih maju dan demokratis," katanya.
Pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil didukung oleh Imparsial, Kontras, Elsam, LBH Jakarta, YLBHI, LBH Pers, Lesperssi, HRWG, Setara Institute, dan Indonesia Tanpa Militerisme.
Ini yang Paling Ditakutkan Bila Ada Program Bela Negara
Rabu, 14 Oktober 2015 | 15:47 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Presiden Jokowi Teken Perpres 115 Tahun 2022 tentang Pembinaan Kesadaran Bela Negara
16 September 2022 | 19:02 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI