KPK Yakin Presiden Tolak RUU KPK

Ardi Mandiri Suara.Com
Kamis, 08 Oktober 2015 | 06:27 WIB
KPK Yakin Presiden Tolak RUU KPK
Presiden Jokowi kunjungi sumur Lubang Buaya. (Suara.com/ Erick Tanjung)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pimpinan KPK yakin bahwa Presiden Joko Widodo tetap menolak revisi Undang- Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini sedang diajukan oleh DPR.

"KPK setuju dan sependapat dengan pendapat Presiden untuk menolak revisi UU KPK, itu yang bisa disampaikan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta.

Konferensi pers itu dilakukan menyusul pengajuan revisi UU KPK oleh enam fraksi DPR yaitu fraksi PDIP, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura dan PKB ke Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (6/10).

Padahal menurut Ruki, KPK bersama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sudah pernah membicarakan mengenai hal-hal yang dinilai perlu untuk direvisi dari UU KPK tersebut.

"KPK dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional bicara tentang pokok-pokok apa yang harus diperbaiki dari UU itu, akan kami lanjutkan dan bahkan akan diusulkan secara resmi oleh BPHN mengenai RUU yang menurut KPK bertujuan untuk memperkuat," ungkap Ruki.

Namun KPK menurut Ruki tetap menghormati kewenangan DPR dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dalam membahas UU.

"Keterlibatan UU itu disusun pemerintah dan DPR, kalau kami dikehendaki maka kami akan memberikan pendapat, tapi kalau kami diminta untuk berbicara secara aktif tentu tidak elok di dalam sistem ketatanegaraan," jelas RUki.

Ruki pun mengungkapkan bahwa pimpinan KPK pernah berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo mengenai kemungkinan perubahan UU KPK saat revisi UU KPK awalnya berdasarkan inisiatif pemerintah pada Juni 2015.

"Diskusi kami beberapa bulan lalu ketika ramai Menkumham mengajukan usul revisi UU KPK, pimpinan KPK langsung bertanya ke Presiden, kami menanyakan 'Apa benar bapak benar-benar ingin ada perubahan UU KPK?'. Presiden mengatakan belum setuju tentang adanya rencana perubahan UU KPK, apalagi yang sifatnya pelemahan itu," tegas Ruki.

Melemahkan KPK Pada intinya, KPK pun menolak revisi UU KPK yang substansinya melemahkan kinerja KPK khususnya pimpinan yang akan datang.

Terdapat sejumlah kejanggalan dalam RUU KPK tersebut, misalnya pertama KPK diamanatkan untuk hanya fokus untuk melakukan upaya pencegahan dan menghilangkan frase pemberantasan korupsi (pasal 4); kedua KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan (pasal 5); ketiga penghilangan wewenang penuntutan oleh KPK maupun monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara sebagaimana pasal 7 butir d yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau penanganannya di Kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif atau legislatif.

Keempat, penghilangan butir menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan pada pasal 8; kelima batasan kerugian negara paling sedikit Rp50 miliar dan bila di bawah jumlah tersebut maka KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas erkara kepada kepolisian dan kejaksaan (pasal 13); keenam penyadapan hanya boleh dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri (pasal 14); ketujuh penghilangan butir KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi (pasal 20).

Kedelapan, pembentukan Dewan Eksekutif sebagai pengganti Tim Penasihat (pasal 22 huruf b); Kesembilan, Pengangkatan Dewan Eksekutif yang disebut bekerja membantu KPK dalam melaksanakan tugas sehari-hari (pasal 23-24); Kesepuluh, anggota Dewan Eksekutif terdiri atas Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan dan Kementerian yang membidangi komunikasi dan informasi (pasal 25); Kesebelas, pertambahan usia minimal pimpinan KPK menjadi 50 tahun (pasal 30).

Kedua belas, penambahan syarat berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan (pasal 33); Ketiga belas, penambahan fungsi Dewan Kehormatan untuk memeriksa dan memutuskan pelanggaran kewenangan yang dilakukan komisioner KPK dan pegawai KPK (pasal 39); Keempat belas, KPK berhak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) suatu perkara korupsi (pasal 42); Kelima belas KPK hanya dapat mengangkat penyelidik atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan (pasal 45).

Keenam belas, penyitaan harus berdasarkan izin Ketua Pengadilan Negeri (pasal 49); Ketujuh belas, masih adanya pengaturan wewenang penuntutan dalam pasal 53; dan Ketujuh belas pembatasan UU hanya berlaku selama 12 tahun setelah UU diundangkan yang artinya juga masa berdiri KPK pun hanya 12 tahun (pasal 73). (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI