Suara.com - Pengacara Direktur Utama PT. Pelindo II R. J. Lino, Fredrich Yunandi, menegaskan laporan Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal terkait dugaan korupsi perpanjangan konsesi JICT oleh PT. Pelindo II kepada Hutchinson Port Holding tidak benar. Menurut Fredich, tidak ada kewenangan serikat pekerja mengetahui urusan penjualan saham perusahaan. Yang berhak mengetahuinya hanya pemegang saham.
"JICT tidak ada hubungan dengan Pelindo. Tidak ada transparansi, tidak berarti buruh mengetahui segala. Itu adalah hak pemegang saham yang mengetahui tentang itu," kata Fredrich dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Melawai Raya 8, Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2015).
Fredrich menyebut anggota Serikat Pekerja JICT menganut paham komunis. Sebab, mereka dinilai melampaui kewenangan sebagai pekerja.
"Jelas bukan kasar, karena hanya komunis yang mempunyai pedoman kerja bahwa buruh adalah pemilik. Tidak ada, buruh adalah buruh," katanya.
Menanggapi Serikat Pekerja JICT, pengacara Lino pun melaporkan balik ke Bareskrim Polri. Sepuluh pekerja JICT dilaporkan atas dugaan melakukan pencemaran nama baik.
"Yang kita laporkan jelas termasuk yang melakukan demo ada di KPK, karena mereka mengatasnamakan Serikat Pekerja JICT. Mereka sudah mencaci maki, Pak Lino merugikan," kata dia.
Sebelumnya, sekitar 200 anggota Serikat Pekerja JICT melaporkan Lino ke KPK atas dugaan kasus korupsi.
"Dalam Surat Dewan Komisaris Pelindo II Nomor 68/DK/PI.II/III-2015 tanggal 23 Maret 2015 dinyatakan bahwa harga JICT setara dengan 854 juta dolar Amerika. Jadi, dengan uang penjualan Hutchison 215 juta dolar Amerika, maka sahamnya hanya 25 persen, bukan 49 persen seperti diusulkan Dirut Pelindo lewat konsultannya Deutsche Bank selama ini. Jika, saham Hutchison dipaksakan 49 persen, ada kerugian negara sebesar 212 juta dolar Amerika atau hampir sekitar Rp3 triliun," kata Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim.
Menurut dia angka penjualan tersebut jauh lebih rendah dari nilai yang muncul pada 1999 ketika JICT pertamakali diprivatisasi, yakni 243 juta dolar AS dan jumlahnya setara dengan keuntungan JICT dalam dua tahun. Menurut dia ada potensi pendapatan Rp35 triliun yang hilang.
"Alibi soal market yang akan dibawa pergi HPH merupakan pembodohan publik. Kita semua tahu bahwa volume peti kemas ekspor impor ditentukan oleh perdagangan internasional antar Indonesia dengan negara lain, bukan operator asing seperti Hutchison," katanya.