'Sarjana Bodong', Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah

Ardi Mandiri Suara.Com
Minggu, 27 September 2015 | 05:03 WIB
'Sarjana Bodong', Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah
Ilustrasi ijazah universitas. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat pendidikan dari Kabupaten Lebak Tuti Tuarsih menyebutkan peredaran sarjana bodong yang saat ini marak di Tanah Air membuktikan lemahnya pengawasan yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi.

"Kami yakin kelemahan pengawasan ini tentu membuat para pengelola pendidikan tinggi menjualbelikan ijazah palsu guna meraup keuntungan lebih besar," kata Tuti saat dihubungi di Lebak, Sabtu.

Sebetulnya, praktik jual beli ijazah palsu bagi penyelenggaraan sarjana bodong sudah terjadi sejak dulu, setelah pemerintah memberikan otonomi penuh kepada pengelola kampus bersangkutan.

Selain itu juga banyak perguruan tinggi yang menyelenggarakan kegiatan belajar sistem jarak jauh dengan kampus induknya.

Kebebasan perguruan tinggi tersebut akibat lemahnya pengawasan dari Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi.

Begitu juga Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) wilayah.

Karena itu, penyelenggaraan perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah S-1 dan S-2 diawasi secara ketat baik Kementerian Riset dan Teknologi Dikti juga Kopertis bersangkutan.

"Saya kira dugaan praktik jual beli ijazah palsu di 18 Kampus di Jabotabek dan Kupang, NTT akibat lemahnya pengawasan itu," katanya.

Menurut dia, pengawasan kegiatan kampus wajib dilakukan dengan menilai kompetensi dosen, administrasi, sarana dan prasarana, mata kuliah, termasuk yang membuka bidang jurusan.

Sebab apabila kampus tersebut tidak dilakukan pengawasan maka akan melahirkan generasi yang tidak berkualitas.

Sebab jual beli ijazah sarjana bodong sama saja dengan pembohongan publik dan bisa dikenakan secara hukum pidana.

"Kami sangat setuju perguruan tinggi yang mengeluarkan sarjana bodong dikenakan hukuman dengan menutup kampusnya," katanya.

Ia mengatakan, kemungkinan bisa saja terjadi sarjana bodong itu dilakukan oleh oknum perguruan tinggi bersangkutan dengan tidak menyertakan mahasiswa tercatat pada Kopertis di wilayahnya.

Padahal, mereka mengikuti kalender belajar juga menempuh ujian akhir.

Namun, mereka hanya tidak tercatat pada Kopertis tersebut, sehingga tidak diakui keabsahan ijazah sarjananya.

Saat ini banyak juga oknum perguruan tinggi swasta berlomba-lomba mencari keuntungan dengan cara menarik dana pendidikan kepada mahasiswa tanpa proses belajar alias menjual belikan ijazah sarjana bodong.

"Kami berharap Kementerian Riset dan Teknologi Dikti terus mengoptimalkan pengawasan agar semu perguruan tinggi memiliki kompetensi yang handal dengan disiplin berbagai ilmu juga membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI