Suara.com - Setelah melaksanakan Wukuf di Arafah dan Mabit (menginap) di Muzdalifah, Kamis (24/9/2015) pagi, jemaah haji akan mulai melempar jumroh (ula, wustha, dan aqabah). Kegiatan yang akan berlangsung hingga hari tasyrik tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah ini memiliki filosofi yang dalam sebagai lambang melontar iblis yang menjadi musuh manusia yang nyata meskipun ghaib.
Kepala Bidang Bimbingan Ibadah dan Pengawasan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Ali Rokhmad menjelaskan bahwa memerangi iblis dan setan bukan karena ingin membunuhnya, melainkan berupaya agar godaan mereka tidak bisa menembus diri.
“Sampai kiamat, iblis tidak akan pernah mati. Jadi, percuma saja kalau kita ingin membunuhnya. Maka, yang harus kita bunuh adalah sifat-sifat iblis dan setan yang ada dalam diri kita,” kata Ali Rokhmad, dikutip dari situs resmi Kementerian Agama.
Menurutnya, prosesi melempar jumroh di dalam ibadah haji terlihat mudah, tetapi sebenarnya banyak praktik yang salah kaprah, seperti: mencuci batu kerikil sebelum dilontarkan, serta melontar jumroh menggunakan selain batu kerikil. Termasuk praktik yang salah adalah melontarkan batu kerikil tujuh buah sekaligus. Selain itu juga meminta digantikan melontarkan padahal dia masih mampu melakukan sendiri.
Dikatakan Ali Rokhmad, melontar tiga jumroh dapat dimaknai melontarkan sifat trilogi thaghut (pendurka Allah) yang terkenal dari dalam diri kita, yakni: Qarun, Bal’am, dan Fir’aun. Selain mereka bertiga, sebenarnya thaghut dipelopori oleh iblis, lalu diikuti oleh Qabil putra Nabi Adam AS.
“Trilogi thagut atau tiga karakter thaghut ini akan selalu ada di setiap zaman, kaum, dan struktur masyarakat di setiap bangsa dan negara,” katanya. “Paham ini, menjadi subur ketika kepemimpinan tidak dipandu syariat Allah SWT.”
Jumroh ula, menurut Ali, adalah melontar sifat Qarun dari dalam diri jemaah haji. Lemparan batu pada jumroh ini diharapkan menjadi simbol kesadaran untuk membebaskan diri dari sifat-sifat Qarun, seperti: pertama, sifat ‘ujub’ Qarun yang mengagumi diri sendiri sebagai orang yang ahli mendapatkan harta kekayaan. Kedua, sifat ‘lalai bersyukur’ Qarun terhadap Allah ataupun berterima kasih kepada orang-orang pernah berjasa.
Ketiga, sifat ‘pelit atau bakhil’ Qarun yang enggan mengeluarkan harta untuk membantu fakir miskin, dan orang-orang yang memerlukan atau membiayai perjuangan di jalan Allah. Keempat, sifat ‘pamer’ Qarun yang suka mengoleksi barang yang tidak perlu di rumahnya, sekadar untuk menunjukkan bahwa dirinya kaya.
Kelima, sifat ‘tamak’ Qarun yang tidak merasa cukup dengan harta kekayaan yang dimilikinya dan selalu memandang ke atas. Angan-angannya sering mengatakan, “Kapan aku lebih kaya seperti orang itu?”.
Keenam, sifat ‘westernisasi’ Qarun yang kebarat-baratan dalam cara hidup, makan-minum, berpakaian, hiburan, dan sebagainya. Ketujuh, sifat ‘menghitung-hitung’ harta yang akan dan telah kau sedekahkan di jalan-Nya. Dan 8) Harta ‘haram’ Qarun agar tidak mencemari harta halalmu.