Suara.com - Mahkamah Konstitusi memutuskan aparat penegak hukum harus lebih dulu meminta izin dari Presiden, bukan lagi kepada Mahkamah Kehormatan Dewan, apabila hendak memeriksa anggota DPR, Selasa (22/9/2015).
Mewakili pemohon judicial materi Pasal 245 UU MD3, pengacara LBH Jakarta Ichsan Zikry menyesalkan keputusan tersebut.
"Kita kecewa dengan putusan MK. Sebab menurut kami ini janggal (UU MD3). Sebab itu kami perlu tahu kenapa sampai ajukan permohonan untuk kesetaraan perlakukan WNI. Kalau orang umum dipanggil tanpa izin, lalu kenapa untuk anggota DPR harus ada izin? Tapi kenapa sekarang kami uji surat izin MKD, justru malah dipatenkan (MK) dilegitimasi izin dari Presiden," kata Ichsan usai sidang putusan di gedung MK, Selasa (21/9/2015).
Dia juga kecewa karena MK memperluas frasa dalam Pasal 245 UU MD3 yakni proses pemeriksaan anggota MPR dan DPD juga harus mengantongi izin tertulis dari Presiden.
"Kami sayangkan kenapa semangat kesetaraan DPR malah berujung semakin parahnya diskriminasi. Dan yang harusnya kita ingin (pemeriksaan) anggota DPR tak perlu izin MKD, justru diperluas ke MPR dan DPD (juga)," kata dia.
Menurut Ichsan putusan MK akan mempersulit proses penyidikan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum. Pasalnya, persetujuan Presiden untuk memeriksa anggota DPR, belum tentu bisa diberikan dengan cepat.
"Kami khawatir ini malah makin sulit untuk memproses hukum para anggota DPR, karena bisa saja bilang kalau 'belum ada persetujuan Presiden'," katanya.
Selain itu, MK juga memutuskan bahwa untuk memeriksa anggota DPRD tingkat provinsi, penyidik harus mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri, sementara untuk memeriksa anggota DPRD tingkat kota dan kabupaten, penyidik harus minta izin gubernur.