Suara.com - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakui masih ada aturan hukum kontraproduktif yang perlu dikaji secara mendalam. Karena menghambat upaya penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.
Aturan tersebut berkaitan dengan diperbolehkannya warga membuka lahan dengan cara membakar yang tertuang di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Sebetulnya itu yang saya dan Komisi IV DPR harus kita betul-betul kaji. Di dunia kita mengenal budaya 'slash and burn' atau tebas dan bakar, konsep masyarakat nomaden dari masyarakat zaman dulu dan sangat tradisional. Kalau itu kita serta merta katakan dengan hitam-putih bahwa itu tidak beres, ganti lagi regulasinya tanpa kajian, itu akan cukup rawan apalagi itu menyangkut keperluan masyarakat yang banyak, masyarakat kecil," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya kepada Antara saat memantau Posko Darurat Asap Riau di Pekanbaru, Minggu (20/9/2015).
Dalam UU No.32/2009 sebenarnya ada syarat yang berlaku untuk warga membuka lahan dengan membakar. Di antaranya seperti membuat desainnya agar tidak melebihi dua hektare, mempersiapkan sekat api dan selama pembakaran harus dalam pengawasan.
Meski begitu, ia mengakui perlu ada kajian mengenai insentif dan disinsentif untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, terutama disinsentif terhadap korporasi dan badan hukum lainnya yang melakukan pembakaran untuk membuka lahan.
Siti Nurbaya juga menyinggung perlu adanya kajian lebih dalam untuk mengevaluasi aturan terkait masalah sengketa lahan antara sesama perusahaan dan warga tempatan karena sering terjadi kebakaran di lahan yang bersengketa.
"Dari dulu kelemahannya setelah perusahaan dapat izin tak ada pengawasan, tidak ada supervisi, padahal di ketentuan itu juga ada untuk bermitra bersama masyarakat hingga luasan sekitar 20 persen dari konsesi yang diberikan. Kalau konsepnya dari awal praktiknya dilakukan dengan baik, hal itu tidak akan terjadi," ujar Siti Nurbaya.
Ia mengatakan perlu ada kajian untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem interaksi antara perusahaan dan warga tempatan dan supervisinya. Ini untuk mengatur apabila lahan yang terbakar akan diambilalih oleh negara, maka kementerian juga harus mempersiapkan lebih banyak sumber daya manusia untuk mengawasi lahan tersebut agar tidak kembali terbakar.
"Misalkan lahan yang rusak kita kumpulkan untuk kembali ke negara. Berarti saya harus menurunkan petugas-petugas dari daerah lain yang kurang produktif untuk ke mari (Riau)," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi meminta pemerintah agar memberi kesempatan kepada perusahaan yang diduga telah lalai menjaga konsesinya untuk menunjukkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.