Memetik Hikmah dari Kasus Penyanderaan

Ruben Setiawan Suara.Com
Sabtu, 19 September 2015 | 06:56 WIB
Memetik Hikmah dari Kasus Penyanderaan
Ilustrasi penyanderaan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penyanderaan dua warga negara Indonesia (WNI) di wilayah Papua Nugini sejenak menguasai pemberitaan Tanah Air dalam beberapa hari belakangan, dari media daring atau "online" hingga cetak.

Terasa wajar jika hal ini begitu "heboh". Selain karena adanya isu bahwa pelakunya merupakan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), memang jarang sekali penduduk Indonesia dijadikan tawanan oleh kelompok bersenjata, di negeri orang pula.

Tak pelak ini mengingatkan masyarakat akan beberapa kejadian penyanderaan terhadap WNI di luar negeri.

Salah satu yang paling terkenal adalah pembajakan sekaligus penyanderaan warga Indonesia yang berada di dalam pesawat jenis DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand pada tahun 1981.

Saat itu dikisahkan pemerintah Thailand melakukan negosiasi dengan para pembajak yang berasal dari kelompok ekstremis Islam. Namun akhirnya, seperti yang kita semua tahu, pasukan Komando Pasukan Khusus (saat itu masih bernama Komando Pasukan Sandi Yudha) turun tangan dan berhasil membebaskan seluruh sandera, walau harus mengorbankan nyawa satu personel dan pilot pesawat.

Cerita tentang rakyat Indonesia ditawan di luar negeri kemudian bergulir ke perairan Somalia, tepatnya tahun 2011. Kapal MV Sinar Kudus yang dioperasikan oleh 20 WNI dirompak oleh sindikat kriminal asal Somalia.

Mirip seperti kejadian di Woyla, Indonesia saat itu harus melaksanakan operasi militer karena usaha negosiasi mengalami ganjakan-ganjalan. Ketika itu, memang, keberadaan pasukan khusus gabungan TNI hanya untuk pengamanan, alih-alih operasi pembebasan, karena pemilik kapal setuju untuk memberikan uang tebusan.

Tidak ada korban dari pihak Indonesia dalam peristiwa tersebut. Tetapi para personel pasukan khusus yang tergabung dalam Satgas Merah Putih berhasil menewaskan beberapa perompak yang berusaha kembali menguasai kapal setelah uang sudah di tangan.

Sampai kemudian rakyat Tanah Air tersentak dengan kabar disanderanya Sudirman (28 tahun) dan Badar (30), penduduk Papua yang sedang menebang kayu di Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Kerom, Provinsi Papua.

Mereka diculik oleh kelompok bersenjata dan ditahan di Kampung Skoutio, Provinsi Sandaun, Papua Nugini, yang bisa ditempuh dalam waktu tiga jam berjalan kaki dari Skopro.

Kabar dari Konsulat Republik Indonesia di Vanimo, Ibu Kota Provinsi Sandaun, pada Sabtu (12/9), kedua WNI hilang sejak Rabu (9/9). Menurut Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian, penculikan dilakukan oleh kelompok bersenjata yang dipimpin "JP", yang sempat menembak Kuba, rekan Sudirman dan Badar.

Pemerintah di Tanah Air langsung bereaksi. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan menyatakan Indonesia menolak bernegosiasi dengan kelompok bersenjata yang menyandera dua WNI di Papua Nugini.

"Indonesia tidak mau bernegosiasi dengan penyandera. Saya kira sikap pemerintah sudah jelas," ujar Luhut sembari menambahkan Indonesia juga tidak sedang terlibat dengan lobi-lobi dengan pihak manapun.

Namun, ia menegaskan, Indonesia mendukung sepenuhnya dan menghormati tindakan-tindakan yang diambil pemerintah Papua Nugini terkait pembebasan sandera.

Akhirnya enam hari setelah ada laporan dari pihak Indonesia di Vanimo, tanpa letusan senjata dari TNI, Pemerintah RI secara resmi mengumumkan kedua pencari kayu itu berhasil dibebaskan.

Adalah "Papua New Guinea Defence Force" atau Tentara Papua Nugini yang melakukan pembebasan setelah sebelumnya pemerintah kedua negara bahu-membahu mengupayakan cara terbaik demi keselamatan para sandera.

Petikan Pelajaran Jika dahulu pembebasan sandera dari pembajak di Bangkok membawa perkembangan signifikan bagi pengembangan pasukan antiteror di Indonesia, penyanderaan di Papua Nugini membawa bangsa ini ke dimensi lain tentang pengamanan penduduk yang tinggal di perbatasan. Ada pelajaran yang bisa dipetik.

Berkaca dari kejadian ini, menurut guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, pemerintah Indonesia perlu memiliki protokol tetap sebagai bentuk kesiapsiagaan mengantisipasi peristiwa penyanderaan di perbatasan dengan negara lain.

"Pemerintah harus membuat protokol untuk menangani masalah seperti ini (penyanderaan). Sebab pergerakan masyarakat di perbatasan lebih bebas, bisa keluar masuk antarnegara dan itu dilindungi oleh resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa," ujar Hikmahanto.

Jadi, ia melanjutkan, melarang pergerakan manusia di kawasan perbatasan sama saja dengan melanggar keputusan PBB.

Peraturan ini pula yang bisa dimanfaatkan kelompok bersenjata untuk beraktivitas antarnegara. Karena itu, yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia saat ini adalah terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan jika peristiwa penawanan WNI terjadi di tapal batas.

Apalagi, lanjut dia, beberapa tempat seperti daerah perbatasan antara Papua dan Papua Nugini sangat luas.

"Tidak mungkin TNI bisa menjaga di tiap-tiap tempat," kata pria yang menamatkan pendidikan doktoralnya di University of Nottingham, Inggris ini.

Terkait penyanderaan dua WNI di Papua Nugini, Hikmahanto sendiri menganggap apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah benar dan sesuai jalur.

Pemerintah bertindak benar dengan menyerahkan semua tindakan terkait pembebasan sandera kepada pemerintah PNG sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara lain.

"Tapi kalau diminta masuk, Indonesia harus siap," tutur Hikmahanto seperti dikutip Antara.

Sementara pengamat politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mengatakan setelah adanya peristiwa ini, kerja sama Indonesia dan Papua Nugini (PNG) perlu ditingkatkan.

"Penyanderaan ini persoalan yang cukup serius. Untuk mencegah hal itu terulang, perlu dibangun kerja sama yang lebih intensif dengan Papua Nugini," tutur Ubedilah.

Selain itu, Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) ini memandang warga di perbatasan kurang dibekali oleh pengetahuan kebangsaan yang cukup.

Padahal, pendidikan kebangsaan penting untuk masyarakat di daerah perbatasan agar masyarakat mengetahui hubungan antarnegara dan memiliki kesadaran bahwa mereka berada di daerah terluar Tanah Air.

Penguasaan pengetahuan kebangsaan oleh warga di tapal batas bisa membantu pemerintah menjawab persoalan perbatasan, yang masih kini terus diselesaikan.

Hubungan Baik dengan Papua Nugini Secercah cahaya terang lain yang bisa diambil dari peristiwa ini adalah pembuktian eratnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Papua Nugini (PNG) yang telah dimulai sejak tahun 1973, dua tahun sebelum PNG memperoleh kemerdekaan tanggal 16 September 1975 dari Australia.

Bahkan, Pemerintah Papua Nugini selalu menolak membicarakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di berbagai forum internasional untuk menghormati persahabatan dengan Indonesia.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, menyanjung usaha PNG dalam membebaskan warga Indonesia. Terutama keterlibatan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill yang memberikan instruksi langsung ke jajarannya.

"Indonesia mendukung penuh dan menghormati kebijakan Papua Nugini terkait pembebasan sandera. Mereka sangat kooperatif, apalagi Perdana Menteri langsung terlibat di dalamnya," tutur Luhut.

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan ucapan terima kasih atas peran pemerintah Papua Nugini yang juga telah membantu proses pembebasan sandera tersebut.

Presiden Jokowi mengapresiasi PNG yang bereaksi dengan cepat ketika ada laporan dua orang WNI disandera di wilayahnya.

"Jam empat kemarin saya telepon Perdana Menteri Papua Nugini, telepon PM Peter O'neil. Saat itu yang saya sampaikan adalah Indonesia siap membantu penuh untuk menyelesaikan masalah penyanderaan. Itu jam empat sore kemarin saya telepon. Dan alhamdulillah empat jam setelah itu, setelah kita telepon, jam delapan malam, saya dikabari lagi sudah bisa bebas dan sudah bisa diselesaikan, tetapi saat itu memang masih di hutan, sehingga kita belum menyampaikan," tutur Presiden. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI