Sejawaran Desak Negara Akui Pelanggaran HAM 1965

Suwarjono Suara.Com
Rabu, 16 September 2015 | 06:41 WIB
Sejawaran Desak Negara Akui Pelanggaran HAM 1965
kamisan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Negara harus mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kurun waktu 1965-1966 di Indonesia, yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan memenjarakan ratusan ribu lainnya tanpa proses peradilan, kata sejarawan Bonnie Triyana.

"Itu adalah tanggung jawab negara yang selama ini diabaikan," ujar Bonnie kepada Antara selepas acara diskusi di daerah Cikini, Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Menurut Bonnie, pengakuan tersebut juga bisa menghilangkan pola pikir yang salah, seolah-olah pembantaian ratusan ribu orang, terdiri dari kader Partai Komunis Indonesia dan yang dituduh anggota PKI, sebanding dengan pembunuhan atas tujuh orang jenderal yang terjadi sebelumnya atau pada peristiwa Gerakan 30 September.

Soeharto yang saat itu melesat menjadi pemimpin militer dan kemudian menjadi Presiden menunjuk PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas tewasnya tujuh pahlawan revolusi. Imbasnya, setelah itu Soeharto membubarkan dan melarang keberadaan PKI di Indonesia hingga saat ini.

Pola pikir yang menyimpulkan bahwa ratusan ribu anggota PKI berhak dibantai karena kematian tujuh jenderal adalah salah, lanjut Bonnie.

"Saya tidak bicara tentang ideologi, ini tentang kemanusiaan. Perbuatan yang menghilangkan satu nyawa pun, apalagi akibat perbedaan pandangan politik, adalah tidak benar," tuturnya.

Dia mencontohkan sebuah partai legal yang beberapa pemimpinnya membuat kesalahan, seperti korupsi. "Apakah dengan korupsi itu, partainya harus dibubarkan dan semua anggotanya sampai ke tingkat cabang atau ranting harus ditangkap dan dipenjarakan ?" kata Bonnie.

Oleh karena itu, pemerintah dianggap perlu membuka dan mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat ini, demi melepaskan beban yang menggelayuti negeri ini selama bertahun-tahun.

"Pembantaian manusia di Indonesia tahun 1965-1966 adalah pembunuhan terbesar sejak Perang Dunia II, jumlah korban terbesar setelah Auschwitz (kamp konsentrasi yang didirikan rezim Nazi saat PD II). Selama ini tidak bisa diselesaikan, Indonesia tidak akan bisa 'berlari cepat'," tutur Bonnie.

Ada pun mengenai konsep pengakuan tersebut, Bonnie menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. "Yang jelas peristiwa pelanggaran HAM berat 1965-1966 harus diakui dan itu membutuhkan kemauan politik ('political will') dari pemerintah," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI