Suara.com - Pengadilan Negeri Yogyakarta menggelar sidang perdana gugatan pengusaha Eka Aryawan terhadap lima pedagang kaki lima dengan agenda mediasi, Senin (14/9/2015). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Prio Utomo hanya berlangsung sekitar 15 menit.
Di persidangan, Eka Aryawan diwakili pengacara bernama Oncan Poerba. Kelima pedagang hadir semua. Mereka adalah Budiono, Agung, Sutinah, Sugiyadi, dan Suwarni. Para pedagang didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Setelah membaca berkas gugatan serta surat kuasa dari kedua belah pihak yang berperkara, Prio meminta mereka melakukan mediasi. Prio meminta Sumedi memimpin jalannya mediasi. Tapi, mediasi tak menemukan titik temu.
Usai mediasi, Oncan Poerba mengatakan mediasi hari ini gagal.
"Mediasi hari ini gagal, karena tidak ada titik temu, jadi sidang akan dilanjutkan lagi hari senin besok," kata Oncan.
Kuasa hukum lima pedagang kaki lima, Rizky Fatahillah, juga mengatakan mediasi deadlock.
"Mediasi sudah dilakukan sejak tahun 2012 tapi tidak ada hasilnya, mediasi tadi hanya mengulang karena tidak ada tawaran yang baru. Kelima PKL masih menganggap bahwa tempat mereka berjualan tidak termasuk dalam surat kekancingan yang dipegang oleh Eka Aryawan," ujar Rizky Fatahillah.
Seperti diketahui, lima pedagang yang sehari-hari mencari nafkah di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, dituding menduduki lahan milik Keraton Yogyakarta yang sudah dipinjampakaikan kepada Eka Aryawan sejak tahun 2011.
Kelima pedagang mencari nafkah dengan usaha warung makan, bengkel, dan duplikat kunci.
Dalam gugatan, Eka meminta mereka meninggalkan lahan dan meminta pengadilan menghukum dengan membayar kompensasi Rp1 miliar.
Tanah Keraton yang dipinjampakaikan kepada Eka Aryawan seluas 73 meter persegi. Dari total luas tanah itu, kelima pedagang dituduh memakai lahan seluas 28 meter persegi.
Secara terpisah, Keraton Yogyakarta yang diwakili tim hukum mengakui telah memberikan surat kekancingan kepada Eka Aryawan.
"Benar Keraton memberikan kekancingan pada Pak Eka, beliau mengajukan sejak tahun 2010 dan surat kekancingannya baru dikeluarkan tahun 2011 sebelum moratorium pemberian kekancingan," ujar Kanjeng Raden Tumenggung Nitinegoro.
Nitinegoro menambahkan pemberian kekancingan seluas 73 meter tersebut lantaran tanah tersebut akan digunakan sebagai akses jalan.
"Tanah yang diberikan kekancingan itu karena dibelakangnya ada tanah milik Pak Eka yang akan dibangun, jadi Pak Eka mengajukan kekancingan tanah di depannya untuk akses jalan," kata Nitinegoro.
Nitinegoro menambahkan pemberian surat kekancingan atas sebidang tanah tidak dapat diberikan pada dua orang sehingga siapa yang lebih dahulu mengajukan surat kekancingan akan diproses lebih dahulu.
Nitinegoro juga mengatakan surat berbahasa Belanda yang dimiliki oleh para pedagang kaki lima sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dalam surat tersebut ternyata isinya hanya menegaskan bahwa tanah milik Keraton Yogyakarta.
"Ternyata surat yang berbahasa Belanda tahun 32 itu hanya menjelaskan kalau tanah itu punya Keraton dan bukan menjelaskan tentang pemberian ijin," kata Nitinegoro.
Tapi agar persoalan menjadi lebih jelas, Keraton Yogyakarta berencana meminta klarifikasi kepada Eka Aryawan.
"Karena kasusnya sudah masuk ranah peradilan, jadi ini bukan wewenang Keraton untuk mediasi karena nanti di Pengadilan kan akan ada mediasi juga tapi ini tanggung jawab moral dari Keraton jadi akan kami mintai klarifikasi," kata Nitinegoro. (Wita Ayodhyaputri)