Bawaslu Minta Pemilih yang Menerima Suap Pilkada Dipidanakan

Kamis, 10 September 2015 | 17:56 WIB
Bawaslu Minta Pemilih yang Menerima Suap Pilkada Dipidanakan
Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak. (Foto: bawaslu.go.id)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendorong Kepolisian Indonesia mempidanakan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang menerima suap dari calon kepala daerah. Mempolisikan pemilih itu menggunakan pasal 149 KUHP Pidana.

Dalam pasal 149 itu berbunyi:

Ayat 1: Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.

Ayat 2: Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.

Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak beralasan dalam UU Pemilukada Serentak, larangan pemberian uang kepada pemilih dari pasangan calon tidak tegas. Aksi suap itu tidak dimasukkan dalam tindak pidana Pemilu.

"Akibatnya, karena tidak ada aturan pidana, secara otomatis bawaslu tidak punya kewenagan menindaklanjuti itu. Maka kami berpikir untuk mendorong polisi kenakan pasal 149 KUHP," jelas Nelson di sela-sela peluncuran buku 'Matamassa: Gerakan Pengawasan Pemilu Berbasis Teknologi' di Hotel Grand Cemara Jakarta, Kamis (10/9/2015).

Dia menjelaskan itu dilakukan untuk memberikan efek jera dan menakutkan kepada pemilih yang menerima uang dari pasangan calon di Pilkada. Namun Nelson meminta penggunaan pasal itu bukan semata-mata untuk mengkriminalisasi masyarakat.

"Ini dilakukan jangan sebagai ajang pencitraan untuk memperbanyak jumlah kasus. Karena tidak menutup kemungkinan kerabat dan saudara kita yang kena," jelasnya.

Menurut Nelson money politic dalam Pemilu Presiden dan Legislatif 2014 lalu banyak dilakukan secara terang-terangan. Bahkan ini dianggap 'halal' dengan keluarnya jargon "ambil uangnya, jangan pilih orangnya".

"Ini akan kasus besar kalau uang yang diberikan itu adalah uang dari APBD atau dana desa yang dikorupsi," kata Nelson.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI