Suara.com - Melambatnya perekonomian global berimbas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini membuat banyak kasus pemutusan hubungan kerja di dunia industri. Sayangnya, jumlah pasti korban PHK belum ketahuan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kesimpangsiuran data karyawan yang terkena PHK bisa saja terjadi. Menurut menteri, itu lumrah terjadi. Soalnya, kata dia, ada perbedaan indikator dalam membuat data antara pemerintah dan lembaga lain.
"Data unemployment mungkin beda-beda definisi. Ada PHK sebenarnya, benar-benar putus karyawan dan perusahaan," kata Bambang, Senin (7/9/2015).
Bambang menambahkan unemployment dibagi menjadi dua, karyawan yang dirumahkan dan PHK. Kalau dirumahkan, karyawan masih mendapatkan gaji, walaupun tidak penuh dan dapat dipekerjakan kembali perusahaan. Sedangkan PHK, karyawan benar-benar berhenti bekerja, namun pengusaha harus membayarkan pesangon sebesar tiga kali gaji secara penuh.
"Ada sifatnya pengurangan jam kerja atau dirumahkan sementara ini kadang dianggap karyawan PHK. Sebenarnya, di perusahaan dirumahkan sementara. Karena mungkin tak mau tiba-tiba bayar pesangon," kata dia.
Untuk mengetahui jumlah karyawan yang terkena PHK, pemerintah hanya menggunakan data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Menurutnya, data yang yang dikeluarkan kementerian sudah sesuai dengan indikator yang diterapkan pemerintah.
"Kita ambil satu data Kemenaker karena tugasnya mendata PHK. Dalam artian, yang benar-benar putus karena mendata apakah perusahaan membayar unemployment," ujar Bambang.