Kisah Tukang Cuci di Aceh, 17 Tahun Menabung Demi Naik Haji

Siswanto Suara.Com
Jum'at, 04 September 2015 | 07:13 WIB
Kisah Tukang Cuci di Aceh, 17 Tahun Menabung Demi Naik Haji
Nuraini Ramli Taran warga Geucu Komplek, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, Kamis (3/9/2015). [suara.com/Alfiansyah Ocxie]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pagi itu, senja baru saja berlalu, saat Nuraini meninggalkan rumah. Ia bergegas menuju rumah majikannya yang terletak sekitar 100 meter dari tempat tinggalnya di kawasan Geucu Komplek, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh.

Tak ada keluh kesah dalam dirinya. Dengan penuh semangat, perempuan berusia 40 tahun ini berjalan menyusuri gang-gang. Di setiap langkah, kala ia bertemu dengan orang-orang yang dikenal, Nuraini tak lupa menyapa.

Ia pun tak malu menjawab, apa yang akan dilakukannya saat ada orang bertanya.

"Mau nyuci," sahut Nuraini menjawab pertanyaan salah seorang warga yang melihatnya berjalan.

Nuraini mempunyai nama lengkap Nuraini Ramli Taran. Sehari-hari, ia berprofesi sebagai tukang cuci. Namun, siapa yang tahu, jika rezeki yang ia dapat dari pekerjaan itu, mampu membuat ia menunaikan ibadah haji.

"Dulu begitulah aktivitas saya. Setiap hari menyuci di rumah yang berbeda. Ada tiga rumah yang menjadi tempat saya kerja," kata Nuraini yang mengenang kegiatan yang dilakoninya.

Nuraini mulai berhenti menjadi tukang cuci sejak tiga bulan lalu setelah terdaftar sebagai jemaah calon haji. Ia tergabung dalam kloter pertama calon haji asal Aceh. Pekan mendatang, ia akan masuk asrama haji Banda Aceh, sebelum bertolak ke Jeddah.

"Sebab itu saya berhenti (nyuci). Saya mulai fokus dengan ibadah dan manasik," katanya.

Nuraini, tukang cuci yang mampu naik haji, punya sejuta kisah. Ia baru dapat menunaikan rukun Islam yang ke lima, setelah menabung selama lebih kurang 17 tahun.

Nuraini berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Hal ini terlihat jelas, saat Suara.com datang menyambangi.

Rumah yang menjadi tempat tinggal Nuraini, terbilang biasa. Areal halaman rumah bisa dikata hampir tiada, karena hanya muat satu atau dua sepeda motor. Rumah panggung berbentuk semi permanen yang ia tempati, diapit lansung oleh dua lorong yang menjadi jalan lintasan warga sekitar. Dinding rumahnya pun juga masih terbuat dari kayu. Sangat sederhana.

Namun begitu, kesederhanaan Nuraini, menjadi ispirasi baru bagi lingkungannya.

Meski hanya bekerja sebagai tukang cuci, niat yang ditanam dalam hati sejak ia masih kecil, kini terwujud.

Untuk naik haji, Nuraini banting tulang. Dia mulai bergelut dengan pekerjaan rumah tangga, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Selain untuk tabungan naik haji, kata Nuraini, ia bekerja sedemikian keras juga untuk membantu kedua orangtuanya yang mulai renta.

"Memang sejak kecil, saat saya berusia 10 tahun sudah ingin sekali naik haji. Itu selalu tertanam di hati saya, kemana pun saya pergi, itu selalu tertanam. Makanya saya terus berusaha, mengerjakan apa saja yang halal, yang sesuai dengan kemampuan," tutur Nuraini.

Kala itu, kata dia, saat anak-anak seusianya sibuk dengan aktivitas lain, dirinya mulai melakoni pekerjaan sebagai tukang jaga anak. Hari demi hari, sedikit demi sedikit, uang yang ia dapat dari pekerjaannya itu, kemudian ia sisihkan sebagai tabungan.

Namun seiring usianya terus bertambah, Nuraini mulai berpindah profesi sebagai tukang cuci. Setelah tsunami melanda Aceh, saat usia Nuraini berkepala dua, ia menjadi menyuci di tiga rumah yang berbeda.

"Setiap hari, dari rumah sana ke rumah sini. Setiap hari itu rutin, mencuci dan menggosok," katanya.

Pun begitu, gajinya tak terlalu banyak. Jika semuanya dikumpulkan, Nuraini hanya mendapat Rp1 juta per bulan. Setiap rumah tempat ia bekerja, memberi upah dengan jumlah yang berbeda. Mulai dari Rp500 ribu, Rp300, dan Rp200 ribu.

"Ya Allah dalam aku mencari rezeki, semoga aku bisa membantu keluarga. Bisa menunaikan ibadah haji. Itu terus dalam hati saya, supaya apa yang saya kerjakan tidak berat," kata Nuraini.

Gaji yang ia dapat dari pekerjaan-pekerjaan itulah yang selama 17 tahun ditabung menjadi ongkos naik haji. Dikatakan dia, selama 10 tahun menabung, tepatnya pada 2008 silam, jumlah simpanan uang yang dimilikinya mencapai Rp20 juta lebih.

Dan dari situlah hatinya tergerak untuk segera mendaftar dan membuka tabungan haji. Nuraini lantas menyetor uang senilai Rp20 juta 500 ribu, yang ia miliki melalui Bank Aceh.

"Kadang saya nabung Rp200 ribu, bisa-bisa bulan berikutnya Rp300 ribu. Tidak ada jadwal rutin, tapi selama keperluan sudah cukup, uang-uang gaji langsung saya sisihkan untuk keperluan haji," jelas Nuraini.

Meski sudah menyetor uang muka untuk pelaksanaan ibadah, Nuraini, tak langsung mendapat panggilan naik haji. Dia masuk dalam waiting list selama kurang lebih tujuh tahun.

"Di situ saya berdoa setiap hari agar selalu dibukakan pintu untuk segera naik haji," katanya.

Lamanya jadwal menunggu ternyata menjadi keberkahan tersendiri bagi Nuraini. Dalam kurun waktu itu, dia terus berusaha mencukupi ongkos naik haji yang masih kurang. Pekerjaan sebagai tukang cuci terus dilakoninya hingga menjelang pemanggilan pelunasan biaya.

"Saya tidak mau memaksa karena saya tau kondisi saya seperti apa. Jadi saya betul-betul berserah diri kepada Allah, memohon agar dibukakan pintu supaya bisa naik haji. Saya menunggu panggilan Allah, karena memang semua yang kita lakuin ini harus ada restu-Nya," kata Nuraini.

Namun di tengah perjalanannya mengumpulkan uang untuk mencukupi ongkos haji, berbagai tantangan datang melanda. Tak jarang Nuraini mendapat perlakuan kasar dari majikannya. Meski tidak fatal, Nuraini sering dimarahi karena dianggap terlalu boros menggunakan detergen.

"Dalam hati saya, ya Allah, inikah cobaan Mu yang harus hamba lalui. Berikanlah saya kekuatan untuk selalu bersabar menghadapi ini jika memang ini ujian dari Mu. Itu selalu saya ucapkan dalam hati," kenangnya sambil menitikan air mata.

Cobaan lain yang lebih menyedihkan datang melandanya disaat ia hendak menyetor pelunasan biaya haji. Jelang hari terakhir itu, Nuraini ditipu oleh salah seorang rekannya yang datang tiba-tiba ke rumah. Rekan Nuraini meminjam uang sebesar Rp3,5 juta.

Uang tersebut rencananya akan disetor Nuraini untuk keperluan haji pada pekan mendatang. Namun karena merasa temannya begitu butuh pertolongan, Nuraini tak sungkan menolong. Dia memberi uang itu, dengan harapan dikembalikan sesuai dengan janji.

Tapi malangnya, janji sang kawan hanya tinggal janji. Hingga kini uang tersebut tidak dibayarkan.

"Tiga hari itu bingung saya mau cari uang kemana. Ya Allah, dalam hati saya. Bukakan pintu hatinya, permurahlah rezekinya, supaya dia bisa mengembalikan," ujarnya.

Doa-doa Nuraini seakan terjawab. Tepat dua hari sebelum penyetoran akhir, seorang dermawan, datang memberikan uang untuknya. Uang diberikan cuma-cuma dengan penuh rasa ikhlas.

"Mungkin inilah pertolongan Allah atas semua kejadian yang menimpa," kata Nuraini yang merupakan anak keempat dari delapan bersaudara.

Tak menunggu lama, Nuraini lantas langsung menyetorkan uang itu. Hingga hari-hari berikutnya, rezeki untuk Nuraini terus berdatangan. Tiga hari yang lalu, Nuraini bahkan mampu membuat acara syukuran secara kecil-kecilan sebagai tradisi pelepasan jemaah haji.

"Kita jangan bosan-bosan meminta kepada Allah. Dia pasti mendengarkan," katanya. [Alfiansyah Ocxie]

REKOMENDASI

TERKINI