Suara.com - Selama hampir setahun Abu Abdullah adalah orang yang paling dicari di Baghdad. Di antara para bosnya dalam organisasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dia dikenal sebagai "Si Perancang" - orang yang bertanggung jawab untuk mengirim para pembom bunuh diri untuk menyerang masjid, universitas, dan pasar di ibu kota Irak.
Abdullah kini adalah salah satu tahanan yang sangat dijaga ketat di penjara Irak. Butuh tiga bulan negosiasi dengan pejabat intelijen Irak bagi Martin Chulov dari The Guardian untuk bisa meraih akses wawancara dengan Abdullah.
Dalam wawancara selama 90 menit di sebuah penjara di Baghdad, lelaki berkepala plontos itu bercerita lepas tentang perannya dalam mengirim pasukan pembom bunuh diri yang menewaskan ratusan orang. Ia menegaskan tidak pernah menyesali pekerjaannya keji itu.
Dalam wawancara yang ditayangkan pada Senin (31/8/2015) itu, Abdullah bercerita bahwa ia berperan mempersiapkan 15 pembom bunuh diri sebelum ditahan pada Juli 2014 lalu. Ia berdoa bersama mereka, sebelum mengantar, dan menyaksikan mereka meledakan diri di target yang sudah ditentukan.
Dia memperkirakan sudah lebih dari 100 orang tewas akibat serangan bom bunuh diri yang dia rancang. Sebagian besar adalah petugas keamanan, tetapi tidak jarang juga warga sipil seperti perempuan dan anak-anak.
"Mereka biasanya datang ke tempat kerja saya," cerita dia, mengacu pada sebuah ruangan yang kini kosong di selatan Baghdad, tempat ISIS tadinya bermarkas.
"Saya menemui mereka di pintu, menyalami mereka, dan melihat apakah mereka sudah siap," lanjut dia, "Kami lalu duduk, berdoa, dan membaca Al Quran."
Ia mengatakan bahwa tak sekalipun pembom bunuh diri yang dibawanya gentar jelang pemboman. Semua misi yang dirancangnya selalu sukses.
"Saya biasanya membantu memasang sabuk bom dan bahkan menyembunyikan bom itu di pos pemeriksaan. Kadang-kadang kami memasangnya di menit-menit terakhir," kata dia.
Berikutnya: Kekhalifahan Sudah Dekat
Kekalifahan Sudah Dekat
Selama wawancara Abdullah, yang nama aslinya Ibrahim Ammar Ali al-Khazali duduk dalam keadaan terborgol. Selama penjaga berada dalam ruangan wawancara, dia terlihat enggan berbicara dan cemas. Tetapi ketika sipir pergi, dia tampak lebih tenang dan berani.
"Apa pesan Anda untuk dunia Barat?" tanya Chulov.
Abdullah terdiam sebentar. Setelah melirik sejenak ke arah pintu, matanya menyala.
"Islam telah datang. Apa yang telah dicapai ISIS selama ini, tak bisa dilawan. Kekalifahan adalah kenyataan," jawab dia.
Abdullah mengaku telah menjadi bagian dari ISIS sejak gerakan itu masih dalam bentuk awal pada 2004. Meski demikian cerita hidupnya sendiri unik.
Dia lahir dari keluarga Muslim Syiah sampai pada akhir 1990an dia berpindah ke Islam Suni. Sejak itu dia mulai terlibat dalam gerakan radikal sampai 2007, ketika kepalanya tertembus peluru pasukan militer Irak dalam sebuah pertempuran.
Sebuah bekas luka bekas tertembus peluru terlihat jelas di dekat telinga kirinya. Ia juga bergerak pelan, seperti kehilangan sejumlah kemampuan motoriknya.
"Tetapi setelah 2011, saya mulai aktif lagi. Saya ingin hidup dalam negara Islam yang diatur oleh hukum syariah. Saya menginginkan segala hal yang diinginkan ISIS. Tujuan mereka adalah tujuan saya, tidak ada bedanya," ujar dia.
Sebelum tertangkap, dia menjabat sebagai wali Baghdad dalam organisasi ISIS. Ia memegang jabatan itu setelah bekas bosnya, Abu Shaker ditangkap oleh tentara Irak dipenjarakan di Baghdad. Interogasi terhadap mereka berdua telah membantu Irak membongkar jaringan ISIS di Baghdad.
Berikutnya: Hanya Satu Penyesalan
Hanya Satu Penyesalan
Kini Abdullah sedang menunggu putusan pengadilan dan tampaknya akan menerima hukuman mati. Tetapi dia tetap yakin bahwa aksinya dulu benar.
"Sebagian besar korban memang target yang pantas mati dan mereka yang tak sengaja terperangkap dalam serangan kami akan diterima oleh Allah," ujar dia.
"Hanya sekali saya menyesal, ketika seorang syahid meledakan diri dekat seorang perempuan dan anak-anak di pasar Qadhimeya. Itu sangat merisaukan saya, tetapi keesokan harinya saya tenang. Saya sadar, itu sesuai dengan paham saya," kenang dia.
Di hari-hari terakhirnya, beber Abdullah, ia akan mengisi hidup dengan berbicara terbuka mengenai keyakinannya.
"Saya melakukan segalanya sesuai degan iman saya. Saya tak ingin berbicara soal penyesalan dan saya tak mau berbicara dengan keluarga saya," tegas dia.