Suara.com - Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefuddin mewakili pemerintah, telah meminta maaf kepada para calon jamaah haji (calhaj) dan keluarganya, yang harus tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci karena persoalan keterlambatan pembuatan visa haji.
Namun begitu, Menag juga menjamin jamaah yang tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci karena belum mendapatkan visa itu, seluruhnya akan berangkat tahun ini juga.
"Semua pasti berangkat. Hanya ada yang kloternya maju menggantikan jamaah yang visa hajinya belum terbit. Bagi suami-istri yang cuma seorang saja keluar visanya, dia akan diikutkan mundur, agar tetap bersama pasangannya," jelas Menag, beberapa waktu lalu.
Permintaan maaf yang disampaikan Menag ini sejatinya merupakan perwujudan sikap ksatria, alias keberanian mengakui kekurangan dalam memberi pelayanan kepada publik. Lukman mau menunjukkan kepada masyarakat bahwa dirinya pun tak lepas dari kekurangan.
Terlepas dari itu, masalah visa yang terjadi pada musim haji tahun ini memang tidak hanya dialami Indonesia. Berbagai negara di dunia yang memberangkatkan jamaah haji, seperti Thailand, Pakistan dan Nigeria, juga mengalami hal yang sama.
Masalahnya, kendala yang dihadapi Indonesia lebih besar ketimbang negara lain. Indonesia memberangkatkan haji sebanyak 168.800 orang, yang terdiri atas 155.200 jamaah kuota haji reguler dan 13.600 kuota haji khusus.
Di berbagai embarkasi, petugas haji dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag kewalahan mendapat pertanyaan calhaj yang berulang-ulang mengenai hal yang sama. Pertanyaan itu adalah: mengapa visa haji sebagai syarat utama dokumen keberangkatan pada saat yang sudah ditentukan tak kunjung keluar.
Jawabannya pun sama, mulai dari Menag Lukman Hakim Saefuddin hingga para Kakanwil Kemenag seluruh Indonesia. Yaitu bahwa lambatnya pembuatan visa haji disebabkan adanya perubahan sistem pada musim haji tahun ini.
Diketahui, Pemerintah Arab Saudi mulai memberlakukan sistem e-hajj (haji elektronik). Melalui sistem ini, ada kebijakan bahwa hanya penyelenggara atau penanggung jawab haji di negara pengirim yang bisa mengakses portal e-hajj mereka.
Keinginan Saudi, e-hajj menjadi sistem informasi haji dan umrah yang terintegrasi dengan sejumlah negara lain. Arab Saudi menghendaki bahwa pada 2015, teknologi itu sudah bisa diaplikasikan.
Itu sebabnya, Pemerintah Arab Saudi usai musim haji tahun 2014, segera melakukan sosialisasi pemberlakukan e-hajj kepada otoritas penyelenggara haji Indonesia, sekaligus pula mengintegrasikan sistem teknologi informasi dan komunikasi (ITC) di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU).
Indonesia pun dijadikan proyek percontohan tentang penggunaan e-hajj, dan sebelum memasuki musim haji 2015, Kemenag seyogyanya sudah harus mengerahkan "jago" teknologi informasi untuk menyatukan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dengan e-hajj. Penggunaan e-hajj dengan dukungan ITC memang sangat menentukan kualitas penyelenggaraan haji ke depan.
Terkait dengan hal itu, Kemenag seharusnya juga sudah bergerak cepat melakukan pembenahan ke dalam. Proses pembuatan paspor jamaah harus dipercepat, sebab saat pelunasan, proses pembuatan paspor haji dan dokumen kesehatan jamaah juga mestinya sudah harus selesai. Untuk mendukung itu, perlu pula dilakukan penyederhanaan pendaftaran, di mana mata rantai yang dirasakan panjang harus dipangkas.
Terkait hal itu, Ketua Komisi VIII DPR, Saleh Partonan Daulay, mengingatkan Kemenag agar persoalan visa haji segera diselesaikan. Saat rapat dengan DPR, Dirjen PHU Abdul Djamil mengatakan bahwa memang ada masalah karena aturan baru dari Pemerintah Arab Saudi yang menerapkan e-hajj. Namun, Djamil mengatakan bahwa itu Insya Allah akan ditangani dengan serius. Faktanya, ternyata masih ada kendala-kendala hingga saat ini.
Lantaran itulah, pihak Kemenag tidak bisa begitu saja menyalahkan sistem visa e-hajj, yang menyebabkan adanya jamaah haji tertunda diberangkatkan dengan alasan belum mendapatkan visa. Sebab seharusnya, e-hajj lebih memudahkan dan bukan malah menyusahkan seperti saat ini.
Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Slamet Effendi Yusuf, mengingatkan bahwa sumber daya manusia (SDM) pengelolaan haji pun harus diinovasi. Pasalnya menurutnya, jarang terjadi keberangkatan haji yang sudah ditentukan orang dan jadwalnya, tiba-tiba saja tidak jadi berangkat karena proses visa.
Kemenag padahal sudah mengetahui Pemerintah Arab Saudi memberlakukan e-hajj sejak selesainya musim haji tahun lalu. Dari situ, lanjut Slamet, harusnya sudah diketahui keberangkatan jemaah melalui Siskohat. Dan seharusnya, Kemenag juga sudah menyesuaikan Siskohat dengan sistem e-hajj.
"Mengapa sistem e-hajj yang modern dan canggih tidak 'match' dengan Siskohat Indonesia yang sudah terkomputerisasi? Artinya, ada sesuatu yang tidak beres pada pengelolaan Siskohat. Seharusnya pihak Kemenag tinggal mencocokkan jumlah dan jadwal keberangkatan jemaah pada Siskohat dengan visa e-hajj," tambah Slamet.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU), KH Hafidz Taftazani, pun mengaku prihatin atas kisruh penerapan sistem elektronik dalam penyelenggaraan haji itu. Menurutnya, sepekan menjelang keberangkatan kelompok terbang (kloter) pertama, Dirjen PHU sesumbar bahwa persiapan keberangkatan jemaah haji Tanah Air sudah 90 persen.
Faktanya, tatkala di antara calhaj hendak bertolak, terjadi penundaan karena visa haji tak kunjung tiba. Lantas, alasan yang dikemukakan pemerintah adalah digunakannya sistem e-hajj oleh Pemerintah Arab Saudi tersebut. Sekarang, menurut Hafidz lagi, tatkala ramai dibincangkan soal e-hajj sebagai penyebab lambatnya visa, pembicaraan melebar dan ada kecenderungan opini publik digiring menyalahkan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta yang dinilai bekerja lambat.
Hafidz menjelaskan bahwa padahal sesungguhnya, jika dilihat secara proporsional, tidaklah demikian. Dia menyebut, sistem e-hajj adalah sebuah sistem aplikasi haji secara elektronik, yang menyediakan kolom-kolom yang harus diisi penyelenggara haji.
Kolom-kolom itu di antaranya berisi pertanyaan tentang kelengkapan persyaratan calhaj, mulai dari nama, nomor paspor, maskapai penerbangan, hotel di Mekkah dan Madinah, transportasi darat, di Arafah berada di maktab berapa, dan seterusnya.
Seluruh kontrak layanan di Arab Saudi seperti katering dan akomodasi, termasuk asuransi, layanan di Armina (Arafah, Mina dan Muzdalifah), juga masuk ke dalam persyaratan dalam sistem e-hajj. Dan penyelenggara diminta membuat pemaketan layanan.
"Semuanya harus terintegrasi," kata Hafidz menjelaskan.
Hafidz menambahkan, memang ada persyaratan sebelum masuk ke sistem e-hajj, di mana penyelenggara harus memberi uang jaminan untuk sewa hotel dan akomodasi lainnya. Hal ini memang diakui dapat berakibat pada proses dan waktu lebih panjang dalam mengurus visa.
"Imbasnya adalah sebagian calon haji di kloter tertentu terpaksa tertunda keberangkatannya. Tetapi, jika jauh hari sudah dilakukan antisipasi dan dilakukan persiapan dengan baik, tentu keterlambatan dapat dihindari," katanya lagi. [Antara]
Menyoal Kisruh Visa Haji: Ada Masalah Apa dengan e-Hajj?
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Senin, 31 Agustus 2015 | 09:11 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Mau Bentuk Dirjen Pesantren, Menag: Pesantren Harus Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
15 November 2024 | 10:58 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI