Suara.com - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).
"Pakai logika saja, yang memberontak (saat G30S) itu siapa. Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?" ujar Ryamizard dalam acara Silaturahmi Menteri Pertahanan RI dengan Media Massa di kantor Kemhan, Jakarta, Rabu (19/8/2015)
Ryamizard Ryacudu meyakini bahwa yang melakukan pemberontakan saat G30S adalah Partai Komunis Indonesia, yang menurutnya, telah melakukan pemberontakan dengan membunuh para jenderal TNI.
Ryamizard pun berjanji akan menyampaikan pendapatnya tersebut kepada Presiden Joko Widodo.
"Saya akan sampaikan kepada Presiden," kata dia.
Jalan keluar yang terbaik terkait persoalan tersebut, lanjut Kepala Staf Angkatan Darat periode 2002-2005 ini, adalah dengan rekonsiliasi atau pemulihan hubungan antara pemerintah dan korban.
"Buang jauh-jauh masa lalu. Mari kita bersatu untuk mengatasi tantangan-tantangan ke depan," tutur dia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam.
"Tentu itu suatu niat yang baik tapi proses itu harus disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami," kata Badrodin.