Keselamatan Penerbangan di Indonesia Dipertanyakan

Suwarjono Suara.Com
Rabu, 19 Agustus 2015 | 08:02 WIB
Keselamatan Penerbangan di Indonesia Dipertanyakan
Bagian ekor pesawat AirAsia QZ8501 di Pelabuhan Panglima Utara Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Sabtu (7/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hanya berselang kurang dari delapan bulan, tiga pesawat penumpang jatuh di Indonesia. Desember 2014, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 jatuh di Laut Jawa dalam penerbangan dari Surabaya menuju Singapura. Sebanyak 162 penumpang tewas.  Bulan Juni lalu, pesawat Hercules TNI AU jatuh di Medan saat hendak lepas landas. Sebanyak 135 penumpang tewas.

Peristiwa terbaru, pesawat Trigana Air yang membawa 54 orang jatuh di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Minggu, 19 Agustus 2015. Seluruh penumpang dan awak pesawat menjadi korban. Pertanyaan besar adalah, bagaimana dengan standar keselamatan penerbangan di Indonesia, sektor yang berkembang pesat namun miskin keselamatan.

Arnold Barnett, ahli statistik yang mengkhususkan diri dalam keselamatan penerbangan internasional mengatakan kepada New York Times pada bulan Desember bahwa tingkat kecelakaan yang menyebabkan kematian di Indonesia sangat parah. Satu penumpang tewas dari setiap satu juta penumpang atau 25 kali lebih buruk dari AS. Catatan ini menjadikan Indonesia termasuk negara dengan keselamatan terburuk di dunia.

Bila dilihat lebih jauh, standar keamanan operator penerbangan di Indonesia dalam catatan internasional sangat buruk. Tahun 2007, Uni Eropa melarang semua maskapai penerbangan asal Indonesia terbang di wilayah Eropa. Sedikitnya ada empat maskapai yang melayani penerbangan internasional. Garuda Indonesia, Airfast Indonesia Ekspress, AirAsia dan Transportasi Antarbenua.

Larangan ini keluar menyusul buruknya standar keselamatan di tengah pesatnya pertumbuhan industri penerbangan. Faktor geografi wilayah Indonesia, dengan lebih dari 13.000 pulau telah mendorong pertumbuhan industri yang melayani perjalanan udara. Regulator penerbangan bersaing ketat dengan memperbanyak penerbangan berbiaya rendah.

“Salah satu alasan mengapa jumlah kecelakaan penerbangan meningkat di Indonesia karena banyak orang memilih menggunakan pesawat terbang, bukan menggunakan kapal feri,” kata Daniel Tsang, pendiri Aspire Aviation seperti dikutip CNN.

Sementara Tony Tyler CEO Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan tahun 2034 Indonesia akan menjadi pasar terbesar ke-enam untuk transportasi udara. Pada tahun tersebut diperkirakan 270 juta penumpang akan menggunakan transportasi udara. Tyler mengkawatirkan masalah keselamatan penerbangan ini akan menjadi masalah terbesar bagi perkembangan penerbangan di Indonesia.

Audit organisasi penerbangan sipil internasional USOAP mencatat Indonesia dinilai memiliki standar di bawah rata-rata internasional, dan menempatkan Indonesia masuk rating kategori 2. Kategori 2 berarti negara tidak memiliki peraturan yang diperlukan untuk mengawasi maskapai penerbangan sesuai standar internasional, atau otoritas  penerbangan sipil kekurangan tenaga ahli di bidang teknis, terlatih, maupun ahli dalam prosedur pemeriksaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI