Suara.com - Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor) terpaksa menghentikan sementara sidang perdana kasus dugaan suap korupsi terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi(MK), Akil Mochtar yang melibatkan Bupati Morotai non-aktif, Rusli Sibua. Sebab dia kembali tidak didampingi kuasa hukumnya.
Senin (3/8/2015) pekan lalu, Risli pun disidang tanpa didampingi pengacaranya. Sebab penasihat hukum Rusli masih mengikuti proses sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu hakim Supriono pun menghentikan sementara sidang.
"Untuk berikutnya dikasih kesempatan saudara, untuk bisa bertemu penasehat hukum saudara. Sidang diskors beberapa menit," kata Hakim Supriono di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (10/8/2015).
Hanya saja Jaksa Penuntut Umum persidangan bersikeras untuk melanjutkan peraidangan. Pasalnya, hal tersebut berdasarkan perjanjian pada sidang Senin lalu. Namun itu ditolak Rusli.
"Kami keberatan kalau tidak dihadiri penasihat hukum, karena pada akhirnya saya sendiri tak memahami hakikat pengadilan sesungguhnya. Hak kewajiban didampingi penasihat hukum mohon didampingi. Oleh karena itu, mohon kearifan pengadilan dapat menunda beberapa hari," kata Rusli.
Atas jawaban tersebut, Hakim pun menegaskan bahwa kesepakatan sudah dilakukan.
"Untuk berikutnya sudah ditekankan apabila ternyata saudara tidak ada penasehat hukum tetap dibacakan, kan sudah disampaikan," kata Hakim Supriono.
Untuk diketahui, surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap Rusli Sibua diterbitkan pada 25 Juni 2015 lalu. Hal itu dilakukan KPK setelah mengembangkan kasus yang menjerat Akil Mochtar, di mana dalam dakwaannya, Akil disebut meminta uang untuk menyetujui keberatan hasil pilkada 2011 di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Dia menerima Rp2,989 miliar dari Rp6 miliar yang diminta.
Sengketa pilkada Pulau Morotai diikuti enam pasang calon pada dimenangkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan tersebut sebagai bupati dan wakil bupati periode 2011-2016 dengan menerbitkan surat keputusan KPU pada 21 Mei 2011.
Namun, Rusli dan pasangannya, Weni R Paraisu, kemudian menggugat putusan itu dengan menunjuk Sahrin Hamid sebagai pengacara. Sahrin kemudian menghubungi Akil melalui SMS. Akil lalu menelepon Sahrin agar menyampaikan kepada Rusli Sibua untuk menyiapkan uang Rp6 miliar.
Permintaan ini diteruskan Sahrin ke Rusli Sibua di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Namun, Rusli hanya menyanggupi Rp3 miliar. Rusli lalu mengirimkan Rp2,989 miliar melalui tiga kali setoran tunai ke rekening CV Ratu Samagat.
Kiriman duit ini diberi keterangan sebagai "angkutan kelapa sawit" sebagaimana diminta Akil. Uang dikirim bertahap, yakni, Rp500 juta pada 16 Juni 2011, Rp500 juta juga pada 16 Juni 2011, dan Rp1,989 miliar pada 20 Juni 2011.
Setelah uang terkirim, pada persidangan 20 Juni 2011, MK memutuskan mengabulkan permohonan Rusli Sibua dan Weni R Paraisu. Dalam amarnya, MK membatalkan berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada KPU Kabupaten Pulau Morotai pada 21 Mei 2011.
Atas perbuatannya ini, Rusli disangka telah melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.