Suara.com - Dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mewacanakan pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mendukung wacana tersebut, tapi menurutnya hukuman mati tidak akan membuat jera.
"Namanya wacana apa juga boleh, kan. Kalau wacana saya lebih baik miskinkan seumur hidup keluarganya yang ketahuan duitnya dari si koruptor. Baru orang takut. Orang mah nggak takut mati," ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (6/8/2015).
Menurut Ahok hukuman mati terlalu panjang dan berbelit prosesnya. Soalnya, kata dia, terpidana lewat pengacaranya akan melawan terus.
"Kan kalau ketangkep terus pakai pengacara yang hebat, putar putar putar, dia bilang nggak korupsi. Terus bisa ke PTUN lagi. Macem-macam kan. Saya bilang lebih baik pemiskinan aja," kata Ahok.
Ahok menyamakan kasus korupsi dengan kasus narkoba yang pelakunya juga diancam dengan hukuman mati. Menurut Ahok, ancaman tersebut tidak membuat gembong narkoba kapok.
"Kenapa orang berani ngantar narkoba? Padahal hukumannya mati. Karena kekayaannya gede," kata Ahok.
Ahok setuju kalau para terpidana kasus korupsi dan narkoba tidak diberi keringanan hukuman dalam bentuk apapun, khususnya grasi oleh Presiden.
"Harusnya tidak dapat grasi (bagi koruptor) dari Presiden dan tidak ada pemotongan tahanan. Jadi kalau kamu terbukti koruptor nggak ada pemotongan tahanan, terus nggak boleh pindah-pindah penjara. Karena tiap kali pindah penjara modusnya tuh pindah satu dapat remisi. Pindah lagi remisi. Pindah-pindah lagi cari yang sejuk, yang gede," katanya.