Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadwalkan sidang perdana kasus suap kepada bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam pengurusan sengketa Pilkada Morotai di MK pada 2011 dengan terdakwa Bupati Morotai Rusli Sibua, Kamis (6/8/2015).
Namun, agenda sidang tersebut ditunda Senin (10/8/2018) nanti karena pada saat bersamaan, pengacara Rusli mengikuti sidang praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan. Sidang tidak dapat digelar karena terdakwa harus didampingi pengacara, kecuali pengacaranya dinilai hakim menghambat persidangan, maka tetap bisa dilaksanakan.
"Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, permohonan saudara dikabulkan. Jadi sidang ditunda hari Senin tanggal 10 Agustus tahun 2015," kata Hakim Ketua Supriyono di gedung Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Setelah mengabulkan permohonan Rusli, hakim mengingatkan dia agar jangan menunda sidang pekan depan. Kalau pekan depan menunda lagi, sidang akan tetap dilaksanakan, meskipun tanpa didampingi pengacara.
"Akan tetapi persidangan berikutnya tetap berlanjut walaupun PH tidak hadir, karena sudah menghambat. Beritahu PH saudara, karena waktu tahanan ini terus bergulir, karena ini sudah menjadi tanggung jawab hakim," kata Supriyono.
Jaksa penuntut umum KPK kecewa dengan sikap pihak Rusli, apalagi Rusli merasa tidak terlalu memahami prosedur persidangan seperti harus didampingi pengacara.
"Kami sebenarnya sangat keberatan dengan menunda sidang perkara ini, kami berharap untuk tidak terjadi lagi selanjutnya, karena kami sudah sampaikan jauh-jauh hari sebelumnya kepada terdakwa," kata salah satu Jaksa KPK.
Surat perintah penyidikan terhadap Rusli diterbitkan 25 Juni 2015. Surat diterbitkan setelah KPK mengembangkan kasus yang menjerat Akil. Dalam dalam dakwaan, Akil disebut meminta uang untuk menyetujui keberatan hasil pilkada 2011 di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Dia menerima Rp2,989 miliar dari Rp6 miliar.
Sengketa pilkada Pulau Morotai diikuti enam pasang calon dan dimenangkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice. KPU setempat menetapkan pasangan tersebut sebagai bupati dan wakil bupati periode 2011-2016 dengan menerbitkan surat keputusan KPU pada 21 Mei 2011.
Namun, Rusli dan pasangannya, Weni R. Paraisu, kemudian menggugat putusan dengan menunjuk Sahrin Hamid sebagai pengacara. Sahrin kemudian menghubungi Akil melalui SMS. Lalu, Akil menelepon Sahrin agar menyampaikan kepada Rusli untuk menyiapkan uang Rp6 miliar.
Permintaan diteruskan Sahrin ke Rusli di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Namun, Rusli hanya menyanggupi Rp3 miliar. Rusli lalu mengirimkan Rp2,989 miliar melalui tiga kali setoran tunai ke rekening CV Ratu Samagat.
Kiriman duit diberi keterangan sebagai "angkutan kelapa sawit" sebagaimana diminta Akil. Uang dikirim bertahap, yakni Rp500 juta pada 16 Juni 2011, Rp500 juta juga pada 16 Juni 2011, dan Rp1,989 miliar pada 20 Juni 2011.
Setelah uang terkirim, pada persidangan 20 Juni 2011, MK memutuskan mengabulkan permohonan Rusli dan Weni. Dalam amar putusan, MK membatalkan berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada KPU Kabupaten Pulau Morotai pada 21 Mei 2011.
Atas perbuatannya ini, Rusli disangka telah melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun, agenda sidang tersebut ditunda Senin (10/8/2018) nanti karena pada saat bersamaan, pengacara Rusli mengikuti sidang praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan. Sidang tidak dapat digelar karena terdakwa harus didampingi pengacara, kecuali pengacaranya dinilai hakim menghambat persidangan, maka tetap bisa dilaksanakan.
"Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, permohonan saudara dikabulkan. Jadi sidang ditunda hari Senin tanggal 10 Agustus tahun 2015," kata Hakim Ketua Supriyono di gedung Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Setelah mengabulkan permohonan Rusli, hakim mengingatkan dia agar jangan menunda sidang pekan depan. Kalau pekan depan menunda lagi, sidang akan tetap dilaksanakan, meskipun tanpa didampingi pengacara.
"Akan tetapi persidangan berikutnya tetap berlanjut walaupun PH tidak hadir, karena sudah menghambat. Beritahu PH saudara, karena waktu tahanan ini terus bergulir, karena ini sudah menjadi tanggung jawab hakim," kata Supriyono.
Jaksa penuntut umum KPK kecewa dengan sikap pihak Rusli, apalagi Rusli merasa tidak terlalu memahami prosedur persidangan seperti harus didampingi pengacara.
"Kami sebenarnya sangat keberatan dengan menunda sidang perkara ini, kami berharap untuk tidak terjadi lagi selanjutnya, karena kami sudah sampaikan jauh-jauh hari sebelumnya kepada terdakwa," kata salah satu Jaksa KPK.
Surat perintah penyidikan terhadap Rusli diterbitkan 25 Juni 2015. Surat diterbitkan setelah KPK mengembangkan kasus yang menjerat Akil. Dalam dalam dakwaan, Akil disebut meminta uang untuk menyetujui keberatan hasil pilkada 2011 di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Dia menerima Rp2,989 miliar dari Rp6 miliar.
Sengketa pilkada Pulau Morotai diikuti enam pasang calon dan dimenangkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice. KPU setempat menetapkan pasangan tersebut sebagai bupati dan wakil bupati periode 2011-2016 dengan menerbitkan surat keputusan KPU pada 21 Mei 2011.
Namun, Rusli dan pasangannya, Weni R. Paraisu, kemudian menggugat putusan dengan menunjuk Sahrin Hamid sebagai pengacara. Sahrin kemudian menghubungi Akil melalui SMS. Lalu, Akil menelepon Sahrin agar menyampaikan kepada Rusli untuk menyiapkan uang Rp6 miliar.
Permintaan diteruskan Sahrin ke Rusli di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Namun, Rusli hanya menyanggupi Rp3 miliar. Rusli lalu mengirimkan Rp2,989 miliar melalui tiga kali setoran tunai ke rekening CV Ratu Samagat.
Kiriman duit diberi keterangan sebagai "angkutan kelapa sawit" sebagaimana diminta Akil. Uang dikirim bertahap, yakni Rp500 juta pada 16 Juni 2011, Rp500 juta juga pada 16 Juni 2011, dan Rp1,989 miliar pada 20 Juni 2011.
Setelah uang terkirim, pada persidangan 20 Juni 2011, MK memutuskan mengabulkan permohonan Rusli dan Weni. Dalam amar putusan, MK membatalkan berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada KPU Kabupaten Pulau Morotai pada 21 Mei 2011.
Atas perbuatannya ini, Rusli disangka telah melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.