Suara.com - Kebebasan berpendapat rentan dikriminalisasi dengan ancaman dugaan pencemaran nama baik. Hal ini pula yang dapat mengganggu demokrasi yang sudah mulai tumbuh sejak era reformasi.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan pemberitaan kerap menjadi sebab persoalan hukum. Hal itu karena media mengutip pernyataan narasumber yang kemudian dituding kalangan tertentu sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.
Padahal, penyelesaian persoalan hukum seperti ini harusnya menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan melalui pemidanaan dengan menjerat dengan pasal karet 310 KUHP. Apalagi, Dewan Pers dan Mabes Polri punya nota kesepahaman untuk penyelesaian perkara seperti ini.
"Kurang tepat kalau Mabes Polri tidak perhatikan MoU dengan Dewan Pers,” kata Bagir di Dewan Pers, Selasa (4/8/2015).
Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menambahkan penggunaan pidana seperti ini mengganggu demokrasi. Kebebasan berpendapat, katanya, merupakan jantung demokrasi.
"Saat ini terjadi pergeseran terhadap mereka yang melakukan kritik terhadap pejabat negara dalam rangka perbaikan pelayanan publik justru dinilai pencemaran nama baik. Saya sebut neo Orde Baru,” ujarnya.
Lebih jauh Emerson berpendapat nota kesepahaman antara Mabes Polri dan Dewan Pers untuk penanganan kasus seperti ini tidak berjalan dengan baik. Buktinya, ketika Emerson sendiri tersangkut kasus pencemaran nama baik, penyidik mengaku tidak tahu nota kesepahaman itu.
“Saat saya disidik, penyidik bilang tolong dong MoU-nya. Artinya kan tidak tahu ada MoU itu," ujarnya.
Emerson dijerat pasal pencemaran nama baik karena mengkritisi kinerja pemberantasan korupsi saat panitia seleksi calon pimpinan KPK bekerja memilih calon pimpinan KPK. Kritiknya dilaporkan dosen Unpad, Romli, ke Bareskrim Mabes Porli. Padahal, tujuan kritik untuk membantu pemerintah agar memilih anggota Pansel yang lebih baik.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Suwarjono menilai penerapan pasal pencemaran nama baik sangat lentur lantaran tidak ada definisi yang tepat. Artinya, jika seseorang tidak suka dengan orang lain, hal itu bisa dipolisikan.
Selain pasal pencemaran nama baik dalam KUHP, AJI mencatat, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik terbilang cepat dalam memidanakan seseorang. Ada total 33 kasus pencemaran nama baik dan hal itu masuk dalam ranah pidana sejak tahun 1999 hingga 2005.
"Orang yang menyatakan pendapat dan narasumber dikriminalkan, dan ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan berpendapat dan pers. Sekarang masuk pada kriminalisasi narasumber,” ujarnya.
Karena itu, menurut dia, hal ini menjadi masalah yang serius bagi kebebasan berpendapat dan pers.
"Apa jadinya kalau narasumber tidak berani lagi menyatakan kritiknya. UU Pers sudah sangat kuat untuk menyelesaikan dengan hak jawab dan hak koreksi,” ujarnya.