Suara.com - Salah seorang aktivis mantan korban pasal penghinaan presiden, Yeni Rosa Damayanti, mencibir langkah Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang berencana untuk memberlakukan lagi pasal penghinaan presiden dalam revisi Undang-undang KUHP yang baru.
Saat dihubungi suara.com, Yeni Rosa yang pernah dipenjara dengan dakwaan menghina presiden pada 1993 lalu menyebut rencana Presiden Jokowi tak masuk akal dan bisa berdampak luas.
Yeni yang juga salah satu pendukung Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu, mengatakan kalau rencan itu membuktikan kalau Jokowi tak mengerti apa-apa.
“Banyak aktivis yang kecewa, Jokowi Ndeso jadi presiden. Saya melihat ini karena ketidaktahuan dia dengan latar belakang dia sehingga mengajukan langkah yang tidak berpikir panjang. Pengabaian ini soal bego yang ngga ngerti konsekuensinya,” ujar Yeni melalui sambungan telepon, Selasa (4/7/2015).
Dia meminta agar Jokowi menghentikan rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden karena sudah lagi layak dipakai di negara-negara demokrasi.
“Sejarah aturan ini kan dari Belanda, soal pengginaan terhadap Ratu. Sekarang di Belanda saja sudah tidak ada lagi,” terang Yeni.
Yeni juga hendak sempat didakwa lagi dengan pasal serupa pada 1995. Dia dituding ikut dalam salah satu ceramah kegiatan mahasiswa di Berlin yang dianggap menghina Presiden Soeharto yang juga diikuti oleh Sri Bintang Pamungkas.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah mengajukan 786 Pasal dalam RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi UU KUHP, antara lain pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang sebenarnya sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Ketegori IV."