Suara.com - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa diperlukan kerendahatian dalam menjelaskan Islam Nusantara. Dengan demikian, Islam Nusantara akan lebih mudah dipahami masyarakat tanpa memunculkan distorsi dan penyimpangan.
“Saya ingin menekankan bahwa kerendahatian sangat diperlukam dalam menyampaikan apa itu Islam Nusantara,” demikian penegasan Lukman saat menjadi Keynote Speaker pada Seminar Nasional Islam Nusantara: Mengarusutamakan Konsep dan Gerakan Islam Nusantara di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, dikutip dari situs resmi Kementerian Agama, Minggu (2/8/2015).
Menurut Lukman, Islam Nusantara dalam beberapa bulan terakhir menjadi salah satu diskursus yang menyita perhatian masyarakat seiring dengan adanya pro dan kontra.
Lukman menilai problem utama pro-kontra ini adalah terkait bagaimana masyarakat bisa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang Islam Nusantara? Dalam amatan Lukman, saat ini masih terjadi distorsi di masyarakat soal itu sehingga muncul anggapan yang lalu menjadi penafsiran bahwa Islam Nusantara adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak dikenal dalam hazanah pemikiran keislaman. “Ini adalah distorsi yang luar biasa,” katanya.
Diskursus tentang ini mengingatkan Lukman pada masa menjelang Munas Alim Ulama tahun 1983 yang juga menjelang Muktamar NU 1984 di Situbondo. Dikatakan Menag bahwa salah satu yang dihasilkan saat itu oleh para alim ulama adalah bagaimana NU menerima Pancasila.
Meski tidak terlalu pas, lanjut Lukman, analogi penerimaan terhadap Pancasila bisa dipersamakan dengan diskursus Islam Nusantara. Akan hal ini, Menag mengidentifikasi sedikitnya ada dua persoalan, pertama, bagaimana meminimalisir atau bahkan menghilangkan kesalahpahaman itu. “Di sinilah tantangannya bagi kita semua, khususnya mereka yang memang dengan fasih bisa menjelaskan apa itu Islam Nusantara kepada publik,” katanya.
“Ini persis ketika dulu Pancasila melalui prakarsa NU dinilai sebagai sesuatu yang final karena sudah menyata pada jati diri kemanusiaan warga Indonesia,” imbuhnya.
Ditambahkan Lukman, almarhum Ahmad Sidik pernah mengatakan merasa heran jika Pancasila yang sudah dikunyah dikunyah oleh warga NU, tiba-tiba kemudian masih ada sebagian warga NU yang mempersoalkan, apakah halal atau haram, padahal sudah begitu lama digeluti.
“Ketika bicara Islam Nusantara, saya merasa ada kesamaan tentang hal itu. Islam Nusantara adalah nilai-nilai Islam yang diimplementasikan di bumi nusantara. Itu sudah sangat lama dipraktikkan oleh para pendahulu kita,” katanya.
“Istilah ini kemudian muncul lagi sehingga sebagian kita mempersoalkan apa itu Islam Nusantara, padahal sudah kita geluti, lakukan, dan praktikkan,” tambahnya.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana menjelaskan Islam Nusantara dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan apriori. Lukman mengaku kadang merasakan adanya rasa keangkuhan sebagian pihak dalam memberikan penjelasan Islam Nusantara. Karena kelewat percaya diri, dalam menjelaskan seseorang terkadang masih diselimuti rasa keangkuhan sehingga terkesan menegasikan praktik-praktik nilai Islam yang tidak sama dengan Islam Nusantara.
“Inilah yang menurut saya perlu kita perbaiki; bagaimana cara kita menyampaikan hakikat Islam Nusantara ini dengan kerendahatian, jiwa besar, kesantunan, dan dengan akhlakul karimah yang memang menjadi salah satu ciri utama Islam Nusantara,” tuturnya.
Penjelasan yang diberikan, lanjut Menag, tidak untuk meninggikan diri dan pada saat yang sama merendahkan pihak lain. “Ini yang terkadang tidak kita sadari dalam perilaku kita,” katanya.
“Cara seperti ini penting agar tampilan kita bisa lebih simpatik dan sesuai dengan pesan yang akan disampaikan. Salah satu ciri Islam Nusantara adalah bagaimana santun dalam menyebarkan ajaran agama yang pada akhirnya untuk memanusiakan manusia itu sendiri,” kata dia.