Suara.com - Belum adanya kurikulum khusus tentang pendidikan kesehatan reproduksi di Yogyakarta saat ini disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya angka kehamilan tidak direncanakan. Angka kasusnya meningkat dari tahun ke tahun.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta Gama Triono.
Menurut Gama pendidikan kesehatan reproduksi selama ini hanya masuk mata pelajaran pengetahuan alam atau jasmani. Hal ini, katanya, masih sangat kurang, seharusnya pendidikan kesehatan reproduksi berdiri sendiri menjadi mata pelajaran.
"Pendidikan kespro (kesehatan reproduksi) belum diberikan secara komprehensif sebagai sebuah perlindungan bagi remaja. Materi dalam pendidikan kespro diberikan secara terpisah dalam beberapa mata pelajaran dan tidak "disambungkan" sehingga belum bisa meningkatkan pengetahuan dan skill remaja untuk melindungi diri dan teman sebayanya," kata Gama.
Gama mengungkapkan di Yogya setiap tahun pasti ada kehamilan tidak direncanakan, bahkan di sekolah – sekolah. Parahnya, tahun lalu menurut data PKBI DIY, seorang siswa sekolah dasar juga mengalami kehamilan tidak direncanakan.
Ironisnya lagi, sebagian kasus terjadi pada anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang baik.
Padahal, dengan tingkat pendidikan menengah dan atas seharusnya angka kasus bisa ditekan.
"Kalau dari data yang masuk ke PKBI, yang melakukan konseling akibat KTD, konseling KTD remaja usia 10-24 tahun di PKBI DIY pada tahun 2014 ada 326 kasus, dan pada tahun 2015 dari Januari hingga juni sudah ada 142 kasus," kata Gama.
Akibat dari tingginya angka kehamilan tidak direncanakan, beberapa akhirnya memutuskan aborsi, sementara sebagian lagi menikah dini.
Dari data yang Pengadilan Agama kota Yogyakarta, tahun 2014 terdapat lebih dari 44 orang yang meminta dispensasi pernikahan.
"Alasannya memang kebanyakan kerena sudah hamil duluan, ya bisa dibilang 99 persen, termasuk banyak di Yogyakarta, saya awalnya kaget karena sebelum di Kota Yogyakarta saya tugas di beberapa kota lainnya dan yang minta dispensasi karena hamil duluan tidak sebanyak ini," kata Humas Pengadilan Agama Kota Yogyakarta Syamsiah.
Syamsiah menambahkan dari dispensasi nikah akibat kehamilan di luar nikah hampir seluruhnya merupakan siswi yang masih duduk di bangku sekolah tingkat SMP dan SMA.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DIY Baskoro Aji prihatin dengan angka kehamilan tidak direncanakan dan pernikahan usia anak yang cukup tinggi.
"Kalau mata pelajaran khusus kesehatan reproduksi memang belum ada tapi kan sudah masuk ke dalam mata pelajaran, kami juga sudah rutin memberikan pelatihan pada guru - guru terkait pendidikan kesehatan reproduksi ini biar bagaimana tersampaikan kepada siswa siswi dengan baik," kata Baskoro Aji.
Itu sebabnya, Gama berharap kesadaran kesehatan reproduksi selain jadi pelajaran di sekolah keluarga juga ditanamkan sedini mungkin di keluarga agar dapat menekan angka kehamilan tidak direncanakan.
"Selain di sekolah harusnya di keluarga juga ditanamkan sejak kecil, misalnya saat balita diajarkan mana anggota tubuh yang hanya boleh dipegang ibunya," kata Gama.
Gama menambahkan pernikahan dini sebetulnya bukan solusi, namun jika terpaksa hal itu bisa saja dilakukan dengan perjanjian.
"Dilematis memang kalau sudah KTD, tapi solusinya tidak selalu menikah, bisa saja memilih menjadi orang tua tunggal, atau jika menikah bisa di dalamnya dengan perjanjian, misal menikah tapi setelahnya tidak boleh berhubungan seksual dulu hingga usia dewasa, dan dari kasus yang PKBI tangani ada yang memilih solusi seperti itu," kata Gama.
Gama berharap segera ada mata pelajaran khusus kesehatan reproduksi serta penanganan serius terkait kehamilan di usia remaja serta pernikahan dini. (Wita Ayodhyaputri)