Suara.com - Dalam seleksi tahap kedua di gedung Pusat Pendidikan dan Latihan Sekretariat Negara, Jalan Gaharu Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2015), sebanyak 189 calon pimpinan KPK dihadapkan pada dua model tes. Pertama berupa tes obyektif dan kedua tes menyusun makalah dengan tulisan tangan.
Tes model pertama, peserta menyelesaikannya tepat waktu, bahkan sebagian sebelum waktu habis, mereka sudah selesai. Mereka cenderung santai pada tahapan ini.
Namun pada model kedua, sebagian peserta mengaku kelelahan. Mereka mesti mencurahkan pikiran tentang pemberantasan korupsi ke makalah sebanyak maksimal 10 halaman dalam bentuk tulisan tangan.
Salah satu kandidat, Hesti Armiwulan Sochma, mengakui tes kedua lebih capek, apalagi dia sangat jarang memakai alat tulis tangan.
"Jawabnya normatif saja, waktu cukup tiga jam, cuma tidak biasa nulis tangan. Nulis tangan biasanya untuk bikin konsep atau bikin draft, itu yang mengganggu. Jadi sedikit banyak coretan. Selain itu karena harus cepat tidak mungkin bagus tulisannya," kata Hesti.
Perempuan yang mengaku sangat concern dengan masalah Hak Asasi Manusia tersebut mengatakan motivasi ingin memimpin KPK antara lain ingin menyelesaikan masalah korupsi secara keseluruhan di Indonesia. Apabila korupsi tidak terselesaikan, penyelesaian masalah HAM menjadi sulit.
"Domain saya di HAM, saya selama ini concern di pendidikan. Melihat bahwa jika korupsi tidak dilakukan komprehensif nanti korupsinya membahayakan HAM, HAM tidak bisa terlindungi kalau praktik korupsi itu tetap ada," kata mantan Komisioner Komnas HAM.
Hesti mengaku tidak takut dengan kriminalisasi oleh pihak yang tersinggung.
"Pemberantasan korupsi menjadi salah satu yang harus dipikirkan. Dengan kewenangan yang dimiliki tentu berisiko, tapi ide itu sudah ada. Sebelumnya di Komnas HAM juga ada upaya-upaya kriminalisasi, sudah biasa, mindset sudah ada," kata dia.