Suara.com - Pemerintah menunggu pendapat hukum dari Jaksa Agung mengenai siapa yang seharusnya menandatangani perjanjian utang dana talangan antara pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya, kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
"Sekarang tinggal siapa yang menandatangani dari pemerintah. Semua hati-hati karena tidak ingin ke belakang hari ada apa-apa, jadi minta pendapat dari Jaksa Agung," kata Basuki Hadimuljono dalam rilis Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta, Senin (29/6/2015).
Menurut Basuki, Keputusan Presiden terkait dengan pencairan dana talangan Rp827 miliar tersebut sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Namun, lanjutnya, pemerintah sedang meminta pendapat hukum dari Jaksa Agung soal siapa yang seharusnya menandatangai perjanjian utang dana talangan tersebut.
"Jadi siapa yang approve untuk menandatangani perjanjian, apakah Menkeu sebagai bendahara umum negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai pengarah, atau Kepala BPLS sebagai kuasa pengguna anggaran," katanya.
Menurut dia, surat terkait meminta pendapat hukum tersebut telah dibaca oleh Jaksa Agung dan pihaknya kini sedang menunggu respons. Bila jawaban telah diterima, maka dapat segera ditandatangani.
Sebelumnya, Lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama-sama dengan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai kebijakan pemerintah mengucurkan dana talangan Rp781 miliar bukanlah solusi permasalahan lumpur Lapindo.
Siaran pers bersama yang diterima di Jakarta, Kamis (25/6/2015), menyebutkan, dana talangan senilai Rp781 miliar kepada pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) guna pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu 4 tahun dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp3,03 triliun, tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo itu sendiri.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengingatkan pada tanggal 29 Mei 2007, setahun setelah bencana semburan lumpur Lapindo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait dengan penanganan atas bencana lumpur Lapindo.
Berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait dengan perizinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi dugaan pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.
Fakta lain yang ditemukan LSM juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban lumpur Lapindo itu sendiri.
Sejumlah permasalahan itu, menurut LSM, antara lain dana talangan memiliki potensi berlawanan dengan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 yang menekankan konsepsi demokrasi ekonomi sehingga kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, serta harus dihindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, kelompok, atau perusahaan.
Dalam hal ini, dengan pemberian dana talangan tersebut, masih menurut LSM, patut dicurigai bahwa hanya akan menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. (Antara)
Pemerintah Tunggu Komando Jaksa Agung Terkait Lapindo
Ardi Mandiri Suara.Com
Senin, 29 Juni 2015 | 22:36 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Sudah 18 Tahun, Pemerintah Masih Kesulitan Buru Utang Rp2,23 Triliun Lumpur Lapindo ke Grup Bakrie
28 Oktober 2024 | 10:29 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI