Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo tetap konsisten mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menolak gagasan DPR merevisi UU KPK.
Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (26/6/2015) menyebutkan, pihaknya juga mendesak Presiden untuk tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan revisi UU KPK dengan DPR.
Ia memaparkan, usaha merevisi UU KPK bukan baru satu kali terjadi, karena pada 2012, hal yang sama dengan substansi yang serupa pula, pernah diusulkan untuk dibahas di DPR. Saat itu, seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UU KPK. Kondisi ini berbanding terbalik dengan 2015 yakni seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK.
ICW menyorot secara garis besar ada lima isu krusial yang akan dimasukkan oleh DPR dalam naskah revisi UU KPK yaitu pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan "kolektif-kolegial", dan pengaturan terkait Plt Pimpinan KPK jika berhalangan hadir.
Menurut dia, posisi DPR yang setuju mempercepat pembahasan revisi UU KPK pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dengan alasan untuk memperkuat KPK tidak dapat diterima karena poin krusial yang akan diubah justru saat ini menjadi jantung kekuatan KPK.
"Keputusan ini telah memperburuk citra DPR di mata publik karena pada saat yang bersamaan DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per anggota," katanya.
ICW mengemukakan, patut diduga ada konflik kepentingan yang besar dibalik dukungan seluruh dewan yang hadir dalam rapat paripurna tersebut. LSM itu juga memaparkan, data KPK sejak 2004 hingga saat ini menyebutkan ada 76 politisi dari Senayan yang telah dijerat oleh KPK karena terlibat korupsi.
Selain itu, ujar dia, tuduhan DPR yang menyebut adanya "abuse of power" (penyalahgunaan kekuasaan) di KPK sebagai justifikasi pentingnya revisi UU KPK tidak didukung oleh bukti yang kuat.
"Demikian pula, tidak ada kondisi darurat yang menjadi dasar dimasukkannya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015," katanya.
ICW menyatakan, saat ini Presiden memiliki posisi yang sangat penting untuk menyelamatkan KPK. Dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK bersama dengan DPR RI.
Ketentuan terkait pembahasan bersama RUU antara pemerintah dan DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan "terhadap RUU Inisiatif DPR maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima".
Berdasarkan ketentuan tersebut maka jika dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR RI.
"Dengan demikian proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum," katanya. (Antara)
ICW Tantang Keseriusan Jokowi Untuk Menguatkan KPK
Esti Utami Suara.Com
Jum'at, 26 Juni 2015 | 21:05 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Pengembangan Kasus Lukas Enembe, KPK Geledah Kantor Setda Papua
08 November 2024 | 20:17 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI