Suara.com - Judicial review terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis (18/6/2015). Judicial review diajukan sejumlah mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum UI, Rangga Sujud Widigda, Damian Agata Yuvens, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra.
Mereka menilai pasal tersebut diskriminasi terhadap pasangan beda agama yang hendak menikah. Pasal tersebut membikin orang yang ingin menikah beda agama, salah satunya harus mengorbankan agama agar mendapat status hukum yang sah.
Menanggapi penolakan MK, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sangat senang.
"Ya kita bersyukur dengan putusan MK ya, putusan itu menggambarkan mayoritas warga bangsa. Pada konteks Indonesia, pernikahan sangat pernikahan adalah peristiwa sakral," kata Lukman di Jakarta Selatan, Senin (22/6/2015).
Lukman mengatakan pernikahan di Indonesia bukan hanya masalah hukum. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisi bahwa Indonesia sebagai negara religius.
"Jadi pernikahan itu bukan peristiwa hukum saja,yaitu pernikahan dua lawan jenis dalam membangun rumah tangga, Indonesia adalah negara religius," kata dia.
Sementara terkait dengan warga yang sudah nikah beda Agama, Lukman tetap menghormati.
"Itu keputusan masing-masing, kita hormati," kata dia.
Tokoh agama Romo Benny Susetyo sudah menduga sejak awal MK akan menolak judicial review terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Sebenarnya, sejak awal MK memang tidak berani kalau menyangkut agama. Kita sudah menduga MK akan menolak. Mereka takut akan masalah itu," kata Romo Benny kepada Suara.com.
Terkait ketakutan MK, kata Romo Benny, dalam teori spiral keheningan di media, perhatian pada pandangan mayoritas lebih besar daripada pandangan minoritas.
"Jadi, kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas. Masalahnya, sebenarnya yang mayoritas ini minoritas. Mayoritas yang sebenarnya memilih diam. Minoritas (yang mengklaim mayoritas) ini bersuara keras di media sehingga bisa mendikte. Padahal belum tentu suara mayoritas yang sesungguhnya seperti itu (menolak pernikahan beda agama)," kata dia.
Masih terkait dengan ketakutan MK dalam kasus perkawinan beda agama, Romo Benny mengungkapkan bahwa dalam riset Setara Institute tahun 2013 yang dipublikasikan tahun 2014, kalau memutuskan menyangkut agama, MK hati-hati dan kadang tidak melihat masalah lebih mendasar.
"Itu masalahnya. Jadi ada persoalan di sana," katanya.
Romo Benny mengatakan seharusnya negara mencari solusi atas kawin campur di Indonesia.
"Kan jadinya lucu, mereka memilih menikah di Singapura atau Australia (untuk dapat keabsahan), lalu kembali ke Indonesia dan bisa diakui (di catatan sipil)," katanya.