Suara.com - Gereja di Charleston dibuka untuk pertama kalinya pascapembantaian berbau rasis, Minggu (21/6/2015). Polisi berjaga ketat.
Gereja dibuka untuk pelayanan doa dan beribadah minggu. Ada sekitar 400 orang hadir dalam pembukaan gereja itu.
Polisi mengawasi ketat para jemaat. Pendeta Norvel Goff memimpin doa mengumandangkan pujian. Dia menyerukan agar umat bersatu dan tidak takut dengan aksi brutal Dylann Roof. Goff menyebut, 'rumah Tuhan' akan melindungi para jemaat.
"Iblis berusaha untuk mengambil alih. Syukur kepada Tuhan, haleluya, bahwa iblis tidak dapat mengontrol Anda. Dan iblis tidak dapat mengontrol gereja Anda," seru Guff
Salah satu jemaat, Travis Holmes mengatakan aksi penembakan tidak akan mempengaruhi imannya untuk malas beribadah. "Kami tidak akan menyerah," kata dia kepada Sky News.
Sebelumnya, 9 orang tewas terbunuh dalam sebuah acara ibadah kebaktian di gereja komunitas kulit hitam di Charleston, South Carolina, Amerika Serikat, Rabu (17/6/2015) malam.
Gereja Charleston adalah salah satu jemaat kulit hitam tertua dan terbesar di Amerika Serikat bagian selatan. Gereka itu pertama kali dibangun pada awal abad ke-19 dan bangunan yang ada sekarang konon selesai dibangun pada tahun 1891. Gereja ini dianggap sebagai bangunan bersejarah menurut Departemen Pertamanan Nasional Amerika Serikat.
Sang pelaku, Roof yang berusia 21 tahun ditangkap sehari setelah pembantaian yang menewaskan sembilan orang di gereja Metodis Emanuel Afrika di Charleston. Pihak berwajib menyebutkan, Dylann menyempatkan diri ikut pemahaman Akitab selama satu jam sebelum melepaskan tembakan membabi buta ke arah para jemaat. (Sky News)