Suara.com - Perkembangan kasus pembunuhan anak Angeline Margriet Megawe (Angeline) makin melibatkan banyak pihak. Mereka yang tidak senang namanya disebut terlibat ataupun terkait kasus ini mulai menebar ancaman.
Siti Sapura, perwakilan lembaga pendamping hukum dare Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar, mengaku mendapatkan ancaman dari orang tak dikenal. Ancaman diterima setelah dirinya aktif mengungkap dugaan motif pembunuhan terhadap Engeline. Atas ancaman-ancaman itu, Siti berencana mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Siti biasa disapa Ipung, yang memberikan pendampingan hukum terhadap orangtua kandung Angeline, mengaku merasa sangat terganggu dengan teror-teror itu. Dirinya diteror oleh pria yang mengaku bernama Erwin. Dalam sehari, Siti bahkan bisa menerima 20 kali telepon. Peneror kerap menanyakan alamat rumah dan mengaku dari Polda Bali. Pria itu juga selalu mengajaknya bertemu di rumah untuk membicarakan kasus Angeline.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam rilis yang diterima Suara.com, Kamis (18/6/2015) mengatakan, LPSK terbuka bagi saksi dan korban tindak pidana yang ingin minta perlindungan kepada LPSK. Apalagi, pada kasus Angeline, kuat dugaan terjadi tindak pidana penganiayaan dan kekerasan seksual terhadap anak hingga menyebabkan kematian.
Kasus seperti ini merupakan satu dari beberapa tindak pidana tertentu yang menjadi fokus LPSK. “Silakan jika ingin minta perlindungan, kita selalu terbuka,” kata Semendawai.
Menurut dia, Pasal 5 Undang-undang (UU) No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas disebutkan, setiap saksi dan korban berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Hak dimaksud diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana kasus tertentu sesuai keputusan LPSK.
Untuk itu, Semendawai mempersilakan perwakilan dari P2TP2A yang merasa keselamatannya terancam setelah mengungkap kasus Angeline, untuk mengajukan permohonan ke LPSK. Lalu, LPSK akan memproses permohonan itu melalui rapat pimpinan. Jika diputuskan diterima, selanjutnya akan diketahui jenis perlindungan seperti apa yang akan diberikan. “Dalam memutuskan nanti, ada hal-hal yang menjadi persyaratan LPSK,” ujar Semendawai.
Persyaratan dimaksud, kata Semendawai, seperti tertuang pada Pasal 28 UU No 31 Tahun 2014, antara lain sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban, tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban, serta rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh saksi dan atau korban.
“Kami mengimbau, jika ada saksi lain yang juga terancam keselamatannya, silakan melapor. Dengan demikian, para saksi bisa merasa aman dan nyaman memberikan keterangan, sehingga kasus meninggalnya Engeline ini bisa terungkap,” kata dia.
Seperti diketahui, dalam kasus Angeline, Polda Bali telah menetapkan dua orang tersangka. Agus, orang yang pernah menjadi pembantu rumah tangga Angeline sebagai tersangka pembunuhan dan Margriet, ibu angkat menjadi tersangka penelantaran anak. Jasad bocah kelas 2-B di SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar ini ditemukan dalam kondisi terkubur di halaman belakang rumah Margriet, dekat kandang ayam pada Rabu, 10 Juni lalu, setelah dinyatakan hilang sejak Sabtu 16 Mei 2015.