Aktivis Minta Indonesia Tegas Cegah Pekerja Anak

Minggu, 14 Juni 2015 | 10:44 WIB
Aktivis Minta Indonesia Tegas Cegah Pekerja Anak
Kampanye anti pekerja anak di Bundaran HI. (suara.com/Dian Kusumo Hapsari)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setiap tanggal 12 Juni diperingati sebagai Hari Dunia Menetang Pekerja Anak Internasional. Peringatan setiap tahunnya ditandai dengan kampanye dalam berbagai bentuk dengan berbagai tujuan.

Indonesia masih menjadi negara yang angka pekerja anak usia sekolah masih sangat tinggi. Berdasarkan data ILO tahun 2014. Saat ini ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi pekerja anak di dunia. Lebih dari setengahnya melakukan pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan keselamatan mereka beresiko.

Sementara di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 4,7 juta jiwa pekerja anak sampai tahun 2013. Paling banyak di Papua sebesar 34,7 persen dari total pekerja anak. Kemudian Sulawesi Utara 20,46 persen dan Sulawesi Barat 19,82 persen.

Menurut Royjai, salah satu pekerja sosial di Yayasan Teman Baik, Indonesia termasuk negara cukup tinggi dengan banyaknya pekerja anak. Padahal, Indonesia sudah memiliki Undang-undang yang berisi tentang pemberantasan pekerja terburuk bagi anak, namun hingga saat ini angka pekerja anak terus meningkat.

“Contohnya, masih banyak anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Lalu di sektor informal, anak jalanan itu masih salah satu pekerja anak terburuk. Itu semua kan di Undang-Undang dilarang. Tapi ini masih saja terjadi khusunya di Indonesia,” kata Royjai kepada Suara.com saat berkampanye Stop Pekerja Anak di Bundaran HI, Minggu (14/6/2015).

Kata dia Pemerintah hingga saat ini masih kurang maksimal dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut Perlindungan Anak. Upaya menghentikan kasus pekerja anak hanya menjadi wacana belaka.

“Pemerintah kalau bisa dibilang gaungnya kurang kuat dan sikapnya kurang greget dalam mengatasi dan menyelesaikan angka pekerja anak ini. Dilihat dari sanksi-sanksi pelaku yang memperkejakan anak itu saja masih ringan. Implementasi Undang-undang masih kurang greget ini. Ini yang menjadi masalah,” jelasnya.

Seharusnya, lanjut dia, undang-undang yang mengatur hak perlindungan anak dan pemberantasan pekerja anak itu harus tegas. Mulai dari implementasi sanksi terhadap pelaku yang mempekerjakan anak, termasuk orangtua anak tersebut.

“Sehingga orang tidak menganggap, ini kan anak saya. Saya mau ngapain itu terserah saya. Jangan sampai ada pola pikir seperti itu. Karena anak itu punya hak juga jadi harus diperhatikan juga oleh orangtua dan termasuk pemerintah,” tegasnya.

Royjai berharap mimpi Indonesia tahun 2020 bebas dari maraknya pekerja anak dapat terwujud.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI