Suara.com - Dalam beberapa tahun belakangan, seiring dengan perkembangan teknologi informasi terutama internet, terjadi tren baru kekerasan seksual terhadap anak.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di mana anak usia sekitar enam dan tujuh tahun diminta melakukan hubungan asusila oleh seseorang, lalu direkam lewat ponsel, kemudian hasilnya disebar lewat media sosial.
Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah Fahira Idris mengatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak secara online baik melalui penyebaran video dan foto asusila anak di bawah umur lewat media sosial dan internet sudah berkali-kali terjadi di Indonesia. Berbagai bentuk dan cara kekerasan akan terus terjadi selama Indonesia belum mempunyai blueprint perlindungan anak.
“Fenomena ini benar-benar sudah kelewatan dan tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Beradab tidaknya sebuah bangsa itu dilihat dari bagaimana bangsa tersebut melindungi anak-anaknya. Kita butuh blueprint perlindungan anak untuk menghalau segala macam bentuk kekerasan terhadap anak,” ujar Fahira Idris yang juga Wakil Ketua Komite III DPD dalam pernyataan tertulis yang diterima suara.com, Selasa (9/6/2015).
Senator asal Jakarta mengatakan media sosial, seperti Facebook dan Twitter, menjadi medium yang paling banyak digunakan untuk menyebar foto atau video anak-anak telanjang atau yang sedang melakukan tindakan asusila. Bahkan, banyak aktivitas online lainnya, terutama chatting yang memang sengaja untuk menjajakan seks anak-anak. Saat ini, lanjut fahira, banyak anak-anak terutama remaja putri secara tak sadar sudah terperangkap dalam cyber sex.
“Kenalan di Facebook, kemudian chatting dan dirayu untuk mengirim foto atau video telanjangnya. Bahkan, jika chatting dengan webcam, mereka dibujuk rayu untuk melepaskan semua pakaian saat chatting. Semua foto dan video ini kemudian disebar baik lewat media sosial, blog, bahkan website. Belum lagi banyaknya kasus perkosaan remaja putri yang berawal dari kenalan di media sosial. Internet juga dijadikan medium praktik prostitusi untuk menjual remaja-remaja putri kita,” jelas perempuan yang juga Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri.
Menurut Fahira maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia karena sebagian besar masyarakat masih belum memandang kekerasan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.
"Padahal kita sudah punya UU Perlindungan Anak sejak tahun 2002 dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara bagi yang terbukti melanggar," katanya.
Sementara untuk konten pornografi sudah ada UU Nomor 44/2008 tentang Pornografi dan untuk penyebarannya ada UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman yang juga tidak main-main, yaitu enam tahun penjara.
Walau sudah ada regulasinya, tambah Fahira, kekerasan seksual terhadap anak dengan berbagai cara, termasuk lewat internet meningkat tiap tahun. Makanya perlu ada bluperint perlindungan anak untuk merevolusi mental masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak terutama fisik dan seksual adalah kejahatan luar biasa.
“Blueprint perlu untuk menangkal berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang sekarang semakin canggih dan sebagai panduan bagaimana menggerakkan semua elemen untuk bergerak bersama memerangi kekerasan seksual terhadap anak,” kata Fahira.