Filosofi Mantu Adat Jawa yang akan Dijalankan Keluarga Jokowi

Siswanto Suara.Com
Selasa, 09 Juni 2015 | 16:54 WIB
Filosofi Mantu Adat Jawa yang akan Dijalankan Keluarga Jokowi
Gedung Graha Saba Buana, tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, dengan Selvi Ananda [suara.com/Wijayanti Putri]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Pengageng Sasana Wilapa Kasunanan Surakarta KPA Winarno pada Selasa (9/6/2015) menjelaskan filosofi ritual adat pernikahan Jawa yang akan dijalankan dalam pernikahan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dengan Selvi Ananda, pada 11 Juni besok.

Ia menjelaskan sehari sebelum upacara pernikahan orang tua mempelai perempuan biasanya memasang bleketepe (anyaman daun kelapa) di depan rumah.

"Pemasangan bleketepe yang dilakukan oleh orangtua pengantin merupakan awal pemasangan tarup," katanya.

Dalam pernikahan Gibran dan Selvi Ananda, pemasangan bleketepe berukuran sekitar 50x200 sentimeter persegi dilaksanakan hari ini sekitar pukul 15.00 WIB di rumah kontrakan keluarga mempelai perempuan di Banyuanyar, Sumber, Solo, Jawa Tengah.

Bleketepe yang dipasang pada tarup dan sekeliling area pernikahan, menurut KPA Winarno, merupakan perwujudan tempat penyucian para dewa di kahyangan yang disebut Bale Katapi.

Bale artinya tempat dan Katapi berasal dari kata "tapi" yang berarti membersihkan dan memilahkan kotoran-kotoran untuk kemudian dibuang.

Pemasangan bleketepe, ia menjelaskan dapat diartikan secara luas sebagai ajakan orangtua dan calon pengantin kepada semua orang yang terlibat dalam upacara untuk bersama-sama menyucikan hati.

"Siapa saja yang diundang dan kemudian datang, masuk di dalam tempat yang sudah dikelilingi bleketepe akan bersih secara lahir dan kemudian menjadi suci secara batin. Itulah harapannya," katanya.

KPA Winarno menjelaskan secara umum seluruh rangkaian pernikahan dalam adat Jawa mengandung filosofi yang dalam.

Setelah pemasangan tarup dan bleketepe, ritual akan dilanjutkan dengan prosesi adang atau menanak nasi pertama.

Adang pertama, ia menjelaskan, dimaksudkan agar tuan rumah bisa memberi makan sanak saudara yang mendukung terlaksananya pesta.

"Kemudian ada acara siraman untuk mempelai wanita di dalamnya ada rangkaian ada jualan dawet," katanya.

Prosesi siraman mempelai perempuan melambangkan upaya penyucian diri secara lahir dan batin karena esok harinya bersiap menerima jodoh.

Sedangkan malam midodareni, kata KPA Winarno, melambangkan turunnya para bidadari pada malam hari untuk memberikan keberkatan kepada calon pengantin.

Esok harinya dilaksanakan akad nikah yang dilanjutkan dengan ritual temupanggih dimana mempelai pria menginjak telor yang melambangkan keturunan lalu mempelai perempuan membasuh kaki mempelai pria untuk menyimbolkan rasa baktinya.

"Kemudian keduanya berjalan ke pelaminan dengan di-singkepi kain merah putih melambangkan kedua mempelai menyambung sejarah orang tua," katanya.

Pemilihan hari

KPA Winarno mengatakan bahwa pemilihan Kamis Legi sebagai hari pelaksanaan upacara pernikahan Gibran dan Selvi juga dilakukan dengan alasan tertentu.

"Kamis Legi itu hari bagus karena pada hari itu semua permohonan didengarkan, maknanya yakni menyatunya keluarga yang bahagia, berkesinambungan rezeki, dan kewibawaan," katanya.

Ia mengatakan pemilihan hari baik merupakan hal yang wajar dalam budaya dan tradisi Jawa. Pemilihan hari baik untuk melaksanakan acara pernikahan, lanjut dia, menjadi doa dan harapan agar kedua mempelai bisa melanjutkan sejarah baik orangtua.

"Kalau itu memang semacam keyakinan, sebenarnya siapa pun boleh pilih hari karena semua hari diciptakan baik, semua hari itu baik," katanya.

Namun, ia mengakui, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa memiliki hari-hari pantang. "Ada hari-hari pantang, misalnya hari pas wafatnya orang tua biasanya itu tidak dipakai," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI