Suara.com - Indonesia menjadi salah satu negara tujuan pariwisata seks anak terbesar di dunia. Wisatawan domestik dan internasional datang ke berbagai destinasi wisata di Indonesia untuk mencari kepuasan seks dengan anak-anak.
Kondisi memprihatinkan ini diungkapkan ECPAT Indonesia (Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purpuses).
“Turis yang berwisata untuk mencari kepuasan seks dengan anak-anak makin marak seiring perkembangan industri pariwisata nasional. Indonesia termasuk negara terbesar ketiga tujuan pariwisata seks anak setelah Brasil dan Vietnam,” kata Andy Ardian, Manager Program ECPAT Indonesia dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Andy, ada tujuh provinsi di Indonesia yang menjadi tujuan utama para turis yang mencari wisata seks anak di daerah wisata yakni DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Andy menambahkan, praktek pariwisata seks anak itu melibatkan pihak swasta di rantai industri pariwisata yang mengurusi jasa perjalanan, penginapan, transportasi dan lainnya.
Mereka memfasilitasi kontak antara turis dan anak. Transaksi seks berlangsung di lokalisasi pelacuran, hotel hingga tempat hiburan yang terdapat di berbagai daerah wisata di perkotaan, pedesaan hingga pesisir. Menurut Andy, maraknya pariwisata seks anak meluas di Indonesia karena masih rendahnya kesadaran hukum para pelaku usaha di industri pariwisata nasional.
Di tingkat internasional, lanjutnya, United Nations World Tourism Organization (UNWTO), organisasi di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyusun Kode Etik Pariwisata (Global Code of Ethics for Tourism) yang berisi panduan bagi pelaku usaha di sektor pariwisata di dunia agar dalam menjalankan bisnisnya tidak ikut serta memfasilitasi meluasnya wisata seks anak.
Perusahaan yang bergerak di bidang jasa pariwisata nasional harus berperan mencegah transaksi seks anak di kawasan wisata merujuk kode etik tersebut. Sektor swasta pariwisata tidak boleh tutup mata namun harus aktif mencegah terjadinya eksploitasi seks anak di kawasan wisata. Ini memerlukan sosialisasi hukum dan melatih para pegawai perusahaan di sektor pariwisata untuk memahami aturan hukum perlindungan anak di kawasan pariwisata.
"Berikutnya, perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata harus memberikan bantuan sosial seperti CSR kepada keluarga miskin di sekitar daerah wisata sehingga anak-anak tidak masuk dalam jebakan perdagangan anak dan industri seks karena alasan kemiskinan,” papar Ahmad Sofian, staf pengajar Departemen Hukum Bisnis,
Universitas Bina Nusantara (BINUS), dalam kesempatan yang sama.