Suu Kyi Kesampingkan Rohingya karena Politik?

Ardi Mandiri Suara.Com
Jum'at, 29 Mei 2015 | 17:14 WIB
Suu Kyi Kesampingkan Rohingya karena Politik?
Aung San Suu Kyi [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Tapi meski demikian, saya kira dia bisa melakukan sesuatu," katanya menanggapi sikap diam Suu Kyi.

Suu Kyi pernah menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun sebagai tahanan rumah semasa mantan rezim junta militer akibat usaha tidak kenal lelah memperjuangkan demokrasi di Myanmar.

Pengorbanannya karena harus berpisah dengan anak-anak dan suami warga negara Inggris yang sakit, serta perjuangannya untuk membebaskan rakyat Myanmar dari rasa takut, membuatnya dipuja dan mendapat banyak simpati dari seluruh dunia.

Namun, sejak dibebaskan dari tahanan rumah pada 2010, peran Suu Kyi pun mulai berubah, yaitu dari pembela hak azasi manusia yang gigih, menjadi aktor politik keras kepala, yang bersiap menghadapi pemilu bersama partai oposisi pimpinannya.

Phil Robertson, Wakil Direktur Asian Human Rights Watch menilai bahwa pemenang Nobel itu telah berubah menjadi sebuah kekecewaan besar karena gagal berada di garda depan untuk memperjuangkan hak azasi manusia.

Pada saat pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas arus pengungsi Rohingya, disaat itu pula Suu Kyi gagal menggunakan "kekuatan moral" yang dimilikinya untuk membantu kaum minoritas tersebut.

Tapi, hanya beberapa bulan menjelang datangnya peluang terbesar dalam karir politiknya menghadapi pemilum, Suu Kyi pun menghadapi tekanan dari arah berlawanan, yaitu semakin kerasnya opini publik di negara mayoris pemeluk Budha itu bahwa kaum minoritas Muslim Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Tugas terberat Suu Kyi adalah mengamankan perubahan konstitusi junta yang didominasi militer dan saat ini melarangnya mengikuti pemilu presiden.

"Memperjuangkan Rohingya bisa berarti Suu Kyi menghadapi resiko kalah pemilihan.... itulah sebabnya berbicara soal Rohingya bukan menjadi pilihan baginya saat ini," kata pengamat soal Myanmar, Mael Raynaud.

Nasib suku Rohingya, salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, semakin memburuk sejak 2012 ketika terjadi kerusuhan berdarah yang menelas puluhan jiwa dan menyebabkan 140.000 orang harus hidup sengsara di kamp pengungsi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI