Suara.com - Serikat Pekerja di Hotel Amanjiwo, Magelang, Jawa Tengah baru mendaftarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)-nya ke Dinas Tenaga Kerja Jawa Tengah pekan lalu. Mereka sukses berunding dengan pihak perusahaan.
Tim perunding PKB SP Amanjiwo Magelang, Kurniawan Dwi Harmaka atau Koko mengatakan perundingan itu dilakukan selama 6 bulan. Sejumlah perjanjian yang menyangkut keuangan yang menya dihasilkan. Semisal penambahan besaran tunjangan kesehatan, kacamata, early morning (uang tunjangan sift pagi), dan tunjangan rawat inap.
"Uang early morning naik jadi Rp16.000 (dari sebelumnya Rp14.000), tapi yang kita minta Rp20.000. Untuk rawat inap Rp31 juta pertahun untuk karyawan yang pempunyai 3 anak," cerita Koko.
Amanjiwo Magelang mempunyai karyawan sekitar 170-orang. Kebanyakan karyawan tetap. Hanya sekitar 25 karyawan yang masih berstatus kontrak. Dari karyawan sebanyak itu, sangat sedikit yang menjadi pengurus SP.
"Menjadi anggota dan pengurus itu yah harus jangan takut dipecat. Nah yang maju ke manajemen waktu perundingan saja ada yang takut. Sementara untuk karyawan kontrak, kita tidak rekrut. Karena mereka rentan, jangan-jangan pas berunding, kontraknya setelah 2 tahun nggak diperpanjang," jelas Koko.
Namun nasib perundingan Serikat Pekerja di perusahaan sektor kimia, energi dan pertambangan di kawasan Jakarta dan Cikarang tidak selancar serikat pekerja Hotel Amanjiwo. Bertahun-tahun perundingan PKB untuk menuntut kejahteraan, namun selalu gagal.
Pengurus Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan, Chandra Mahlan mengatakan sedikitnya ada 20.000 perusahaan bidang energi dan pertambangan di Jakarta. Namun hanya 2.000 perusahaan yang mempunyai serikat pekerja.
"Itu nggak sampai 10 persen kan? Sementara dari 100 PKB yang kita jadikan sampel, nggak sampai 10 persen yang bagus. Kebanyakan normatif copy-paste dari UU Tenaga Kerja," kata Chandra.
Chandra mengatakan kebanyakan pengurus serikat pekerja di perusahaan yang terafiliasi di federasinya tidak punya kemampuan bernegosiasi dengan perusahaan. Mereka tidak tahu banyak soal UU Ketenagakerjaan, tidak terampil, dan tidak kompak. Anggota serikat pekerja di perusahaan kimia energi dan pertambangan kebanyakan masih menerima ancaman untuk diberhentikan saat menuntut kesejahteraan lebih.
"Semisal dari 10 tuntutan dalam PKB, paling 3 hal yang disepakati. Itu bicarakan soal nilai. Tapi saat berunding mereka sering diancam, kamu mau masih kerja nggak? Ancaman itu terus ada. Mereka kebanyakan kontrak dan outsourcing," papar Chandra.
Lemahnya serikat buruh di tingkat perusahaan menjadi ancaman untuk buruh sendiri menjelang sistem Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diterapkan akhir 2015 ini.
MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).
Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Ada 8 bidang pekerjaan profesional yang dibebaskan bekerja di negara-negara ASEAN. Di antaranya profesi insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi media, dokter gigi, serta akuntan. Mereka harus bersertifikat dan bisa berbahasa negara lokal.
Hanya saja, peneliti perburuhan dari Lembaga AKATIGA, Indrasari Tjandraningsih menyoroti skema pengawasan tenaga kerja yang masuk lewat aturan MEA. Sebab orang asing bekerja di Indonesia bukan hal baru.
Catatan Kementerian Tenaga Kerja, sampai akhir 2014 jumlah tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia tercatat 68.762 orang. Rinciannya, TKA dari China mencapai 16.328 orang, Jepang 10.838 orang, dan Korea Selatan 8.172 orang. Sedangkan TKA dari India 4.981 orang, Malaysia 4.022 orang, Amerika Serikat 2.658 orang, Thailand 1.002 orang, Australia 2.664 orang, Filipina 2.670 orang, Inggris 2.227 orang, serta di negara lain sebanyak 13.200 pekerja.
Dalam penelitiannya, Asih - sapaan akrab Indrasari - banyak menemukan tenaga kerja asing tak berdokumen di Indonesia. Contohnya Cina yang berinvestasi di sektor pertambangan, membawa tenaga kerjanya sendiri masuk ke Indonesia, dan mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Itu terjadi karena pengawasan pemerintah pusat dan daerah lemah.
Jika pemerintah tidak sanggup mengawasi tenaga kerja asing, bukan tidak mungkin pekerja asing akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia tanpa sertifikat keahlian. Bahkan menyasar ke bidang-bidang di luar 8 profesi yang sudah disepakati.
"Pemerintah akan sanggup tidak mengawasi tenaga kerja asing? Nanti jangan-jangan seperti itu," jelas Asih.
Maka itu Asih mengatakan buruh perlu melakukan terobosan baru dalam pergerakan perburuhan. Buruh perlu merangkul pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Itu akan menambah 'kekuatan baru'.
Dalam Undang-Undang 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak disebutkan larangan buruh asing masuk keanggotaan SP. Di pasal 12 UU itu tertulis Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku agama, dan jenis kelamin. UU itu hanya melarang pekerja menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja di perusahaan.
Hanya saja, menurut Asih - sapaan akrab Indrasari - UU itu perlu direvisi. Sebab peraturan yang sama harus berlaku di negara lain. Semisal buruh Indonesia yang bekerja di Thailand bisa atau tak bisa bergabung dengan serikat pekerja di sana.
Suara.com menelusuri aturan perburuhan lewat undang-undang ketenagakerjaan Thailand. Pekerja asing dilarang masuk serikat pekerja. Mereka harus warga negara Thailand dan berusia di atas 20 tahun. Selain itu keberadaan serikat pekerja harus sama di dalam satu kawasan tempat buruh bekerja.
"Ini kan belum pernah digulirkan. Saya duga sih nggak boleh bergabung di serikat. Makanya harus ada peraturan pemerintah," kata Asih.
Kata dia, selama ini pergerakan perburuhan justru lemah di tingkat perusahaan. Namun cukup kuat di gerakan buruh secara nasional. Banyak hak buruh yang tidak diberikan oleh perusahaan di sektor padat karya seperti garmen, tekstil, mainan, sepatu dan lain-lain.
"Karena persoalan buruh ini nggak jauh dari persoalan kondisi kerja, implementasi peraturan. Problemnya, hak-hak yang dijamin negara lewat UU sudah diterapin belum?" tanya dia.
Buruh takut MEA
Buruh dari Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan menganggap MEA adalah ancaman. Mereka tidak ingin pekerja asing masuk ke Indonesia secara massif. Sebab dengan masuknya pekerja asing, maka daya saing untuk mencari kerja semakin tinggi.
"Kita nggak setuju. Kita merasa akan tersingkir. Ini soal daya saing juga. Jangan-jangan kita ini disingkirkan," kata pengurus FSP KEP, Sahat Butar Butar.
Sahat dan temannya, Chandra Mahlan tahu banyak soal MEA. Dia dan temannya di federasi sering berdiskusi soal MEA sejak 2 tahun terakhir. Dia memandang, MEA banyak memberikan kerugian. Di dalam benak pikiran Sahat, kualitas pekerja asing akan jauh lebih baik dari pekerja lokal. Meski ada syarat, jika pekerja itu harus mahir berbahasa Indonesia.
“Kita maunya sih ditunda. Atau kalau ma uterus jalan, harus ada aturan jelas. Misal dalam setahun, berapa jumlah yang masuk. Kalau sekarang kan jumlahnya tak terbatas,” paparnya.
Sehingga mereka juga tidak ingin merangkul para pekerja asing untuk menjadi anggota serikat pekerjanya seperti yang disarankan Asih. Sahat beralasan aturan AD/ART SP di perusahaan dan di federasinya tidak mengatur soal pekerja asing bisa menjadi anggota SP.
"Kalau pun mereka gabung, pengaruhnya apa? Nggak bisa menjamin juga tambah kekuatan SP. Bisa saja mereka pro pengusaha," kata dia.
Sahat dan teman-temannya meminta pemberlakukan MEA bisa ditinjau ulang. "Kita belum siap. Karena kita memprediksi bukan hanya pegawai bersertifikat saja yang bisa masuk, jangan-jangan pekerja sektor padat karya juga bisa masuk," paparnya.
Hanya saja Peneliti Perburuhan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Titik Handayani menegaskan buruh Indonesia tidak bisa menghindar dan menghentikan sistem MEA. Sebab kebijakan MEA melibatkan negara lain di ASEAN. Buruh mau tak mau perlu meningkatkan kapasitas dan produktivitas dalam bekerja.
"Pekerja harusnya juga perlu meningkatkan kapasitas, keterampilan dan produktivitas agar lebih berdaya saing menjelang MEA," jelas Titik.
Titik menekankan Serikat Pekerja dalam menghadapi MEA ini perlu berinovasi tidak hanya menjadi 'perkumpulan penuntut'. Dia menyoroti salah satu tuntutan buruh soal penghapuskan system kerja alih daya atau outsourcing. Kata dia, di era MEA, sistem alih daya akan sangat kuat. Sebab arus tenaga kerja akan semakin tinggi.
“Tuntutan terhadap penghapusan pekerja outsorcing atau alih daya relatif lebih sulit. Karena tuntutan globalisasi, termasuk MEA adalah efisiensi serta labour market flexibility. Jadi yang lebih realistis adalah pekerja alih daya/outsourcing, tetapi tetap melindungi hak-hak sebagai tenaga kerja terpenuhi,” jelasnya.
Jelas Titik, SP perlu berperan memberikan kesadaran kepada buruh untuk meningkatkan kompetensi. Sehingga tidak mudah digeser oleh tenaga kerja asing. "Sehingga peran SP tidak lemah dalam melakukan daya tawar dengan perusahaan," kata dia.
Pengusaha pilih buruh asing atau lokal?
Pengusaha tidak terlalu senang dengan penerapan MEA. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) cabang Jawa Barat Deddy Widjaya mengatakan pengusaha tidak otomatis menggunakan jasa pekerja asing karena keterampilannya dianggap lebih dari buruh lokal. Sebab pengusaha harus mengeluarkan uang lebih untuk mereka.
“Teorinya, upahnya sama. Tapi apa iya? Yang sekarang saja harus membayar USD 100 per bulan untuk tenaga kerja asing itu,” kata Deddy.
Peraturan pembayaran yang dimaksud Deddy ada di Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 mengatur tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Pasal 32 Permenakertrans TKA mengatur tentang besaran kompensasi penggunaan TKA. Besaran kompensasi senilai USD 100 berlaku untuk satu jabatan dan per bulan untuk setiap TKA.
Maka Deddy mengatakan itu akan merugika pengusaha. Terlebih memperkerjakan tenaga asing, berarti memberikan tunjangan lebih. Semisal tempat tinggal dan pembuatan dokumen tertentu.
“Pasar Indonesia itu besar, jadi sekilas MEA menguntungkan. Tapi kalau ditarik ke dalam, banyak pengeluaran kita. Makanya aturan Permenakertrans itu harus dihapus,” kata dia.
Deddy memastikan pengusaha di Jawa Barat tidak banyak menggunakan pekerja asing. Namun sektor otomotif, beberapa tahun mendatang memungkinkan banyak menggunakan tenaga kerja asing.
“Kalau MEA ini bocor sampai ke sektor padat karya, nggak mungkin kita pecatin buruh dan ganti. Tapi sektor otomotif, mungkin saja akan memakainya,” papar dia