Buruh dari Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan menganggap MEA adalah ancaman. Mereka tidak ingin pekerja asing masuk ke Indonesia secara massif. Sebab dengan masuknya pekerja asing, maka daya saing untuk mencari kerja semakin tinggi.
"Kita nggak setuju. Kita merasa akan tersingkir. Ini soal daya saing juga. Jangan-jangan kita ini disingkirkan," kata pengurus FSP KEP, Sahat Butar Butar.
Sahat dan temannya, Chandra Mahlan tahu banyak soal MEA. Dia dan temannya di federasi sering berdiskusi soal MEA sejak 2 tahun terakhir. Dia memandang, MEA banyak memberikan kerugian. Di dalam benak pikiran Sahat, kualitas pekerja asing akan jauh lebih baik dari pekerja lokal. Meski ada syarat, jika pekerja itu harus mahir berbahasa Indonesia.
“Kita maunya sih ditunda. Atau kalau ma uterus jalan, harus ada aturan jelas. Misal dalam setahun, berapa jumlah yang masuk. Kalau sekarang kan jumlahnya tak terbatas,” paparnya.
Sehingga mereka juga tidak ingin merangkul para pekerja asing untuk menjadi anggota serikat pekerjanya seperti yang disarankan Asih. Sahat beralasan aturan AD/ART SP di perusahaan dan di federasinya tidak mengatur soal pekerja asing bisa menjadi anggota SP.
"Kalau pun mereka gabung, pengaruhnya apa? Nggak bisa menjamin juga tambah kekuatan SP. Bisa saja mereka pro pengusaha," kata dia.
Sahat dan teman-temannya meminta pemberlakukan MEA bisa ditinjau ulang. "Kita belum siap. Karena kita memprediksi bukan hanya pegawai bersertifikat saja yang bisa masuk, jangan-jangan pekerja sektor padat karya juga bisa masuk," paparnya.
Hanya saja Peneliti Perburuhan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Titik Handayani menegaskan buruh Indonesia tidak bisa menghindar dan menghentikan sistem MEA. Sebab kebijakan MEA melibatkan negara lain di ASEAN. Buruh mau tak mau perlu meningkatkan kapasitas dan produktivitas dalam bekerja.
"Pekerja harusnya juga perlu meningkatkan kapasitas, keterampilan dan produktivitas agar lebih berdaya saing menjelang MEA," jelas Titik.
Titik menekankan Serikat Pekerja dalam menghadapi MEA ini perlu berinovasi tidak hanya menjadi 'perkumpulan penuntut'. Dia menyoroti salah satu tuntutan buruh soal penghapuskan system kerja alih daya atau outsourcing. Kata dia, di era MEA, sistem alih daya akan sangat kuat. Sebab arus tenaga kerja akan semakin tinggi.
“Tuntutan terhadap penghapusan pekerja outsorcing atau alih daya relatif lebih sulit. Karena tuntutan globalisasi, termasuk MEA adalah efisiensi serta labour market flexibility. Jadi yang lebih realistis adalah pekerja alih daya/outsourcing, tetapi tetap melindungi hak-hak sebagai tenaga kerja terpenuhi,” jelasnya.
Jelas Titik, SP perlu berperan memberikan kesadaran kepada buruh untuk meningkatkan kompetensi. Sehingga tidak mudah digeser oleh tenaga kerja asing. "Sehingga peran SP tidak lemah dalam melakukan daya tawar dengan perusahaan," kata dia.