Akankah Buruh Lokal Tersingkir di Era MEA?

Jum'at, 29 Mei 2015 | 07:00 WIB
Akankah Buruh Lokal Tersingkir di Era MEA?
Puluhan ribu buruh dari berbagai penjuru kota di Jabodetabek dan sekitarnya melakukan aksi long march menuju Istana Merdeka Jakarta. [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Serikat Pekerja di Hotel Amanjiwo, Magelang, Jawa Tengah baru mendaftarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)-nya ke Dinas Tenaga Kerja Jawa Tengah pekan lalu. Mereka sukses berunding dengan pihak perusahaan.

Tim perunding PKB SP Amanjiwo Magelang, Kurniawan Dwi Harmaka atau Koko mengatakan perundingan itu dilakukan selama 6 bulan. Sejumlah perjanjian yang menyangkut keuangan yang menya dihasilkan. Semisal penambahan besaran tunjangan kesehatan, kacamata, early morning (uang tunjangan sift pagi), dan tunjangan rawat inap.

"Uang early morning naik jadi Rp16.000 (dari sebelumnya Rp14.000), tapi yang kita minta Rp20.000. Untuk rawat inap Rp31 juta pertahun untuk karyawan yang pempunyai 3 anak," cerita Koko.

Amanjiwo Magelang mempunyai karyawan sekitar 170-orang. Kebanyakan karyawan tetap. Hanya sekitar 25 karyawan yang masih berstatus kontrak. Dari karyawan sebanyak itu, sangat sedikit yang menjadi pengurus SP.

"Menjadi anggota dan pengurus itu yah harus jangan takut dipecat. Nah yang maju ke manajemen waktu perundingan saja ada yang takut. Sementara untuk karyawan kontrak, kita tidak rekrut. Karena mereka rentan, jangan-jangan pas berunding, kontraknya setelah 2 tahun nggak diperpanjang," jelas Koko.

Namun nasib perundingan Serikat Pekerja di perusahaan sektor kimia, energi dan pertambangan di kawasan Jakarta dan Cikarang tidak selancar serikat pekerja Hotel Amanjiwo. Bertahun-tahun perundingan PKB untuk menuntut kejahteraan, namun selalu gagal.

Pengurus Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan, Chandra Mahlan mengatakan sedikitnya ada 20.000 perusahaan bidang energi dan pertambangan di Jakarta. Namun hanya 2.000 perusahaan yang mempunyai serikat pekerja.

"Itu nggak sampai 10 persen kan? Sementara dari 100 PKB yang kita jadikan sampel, nggak sampai 10 persen yang bagus. Kebanyakan normatif copy-paste dari UU Tenaga Kerja," kata Chandra.

Chandra mengatakan kebanyakan pengurus serikat pekerja di perusahaan yang terafiliasi di federasinya tidak punya kemampuan bernegosiasi dengan perusahaan. Mereka tidak tahu banyak soal UU Ketenagakerjaan, tidak terampil, dan tidak kompak. Anggota serikat pekerja di perusahaan kimia energi dan pertambangan kebanyakan masih menerima ancaman untuk diberhentikan saat menuntut kesejahteraan lebih.

"Semisal dari 10 tuntutan dalam PKB, paling 3 hal yang disepakati. Itu bicarakan soal nilai. Tapi saat berunding mereka sering diancam, kamu mau masih kerja nggak? Ancaman itu terus ada. Mereka kebanyakan kontrak dan outsourcing," papar Chandra.

Lemahnya serikat buruh di tingkat perusahaan menjadi ancaman untuk buruh sendiri menjelang sistem Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diterapkan akhir 2015 ini.

MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).

Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Ada 8 bidang pekerjaan profesional yang dibebaskan bekerja di negara-negara ASEAN. Di antaranya profesi insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi media, dokter gigi, serta akuntan. Mereka harus bersertifikat dan bisa berbahasa negara lokal.

Hanya saja, peneliti perburuhan dari Lembaga AKATIGA, Indrasari Tjandraningsih menyoroti skema pengawasan tenaga kerja yang masuk lewat aturan MEA. Sebab orang asing bekerja di Indonesia bukan hal baru.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI