Junta Militer Thailand: Pemilu Baru Digelar September 2016

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 27 Mei 2015 | 14:25 WIB
Junta Militer Thailand: Pemilu Baru Digelar September 2016
Ilustrasi tentara Thailand. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Junta Militer Thailand, Rabu (27/5/2015), memastikan bahwa pemilihan umum tidak akan digelar hingga September 2016. Pengumuman ini sekaligus mengecilkan harapan bahwa para jendral di negara gajah putih itu akan segera mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.

"Perdana Menteri memperkirakan pemilu akan digelar pada September (2016)," kata jurubicara junta Kolonel Werachon Sukondhapatipak kepada wartawan setelah Prayut bertemu delegasi para duta besar PBB di Bangkok.

Dalam beberapa pekan terakhir terjadi kesimpangsiuran mengenai waktu dilaksanakannya pemilu setelah komite yang dipilih junta untuk menyusun konstitusi baru mengatakan dokumen tersebut harus disetujui melalui referendum.

Prayut kemudian memberikan sinyal bersedia mempertimbangkan pemungutan suara atas konstitusi baru namun menambahkan bahwa referendum akan menunda pelaksanaan pemilu.

Ketika panglima militer dan Perdana Menteri saat ini Prayut Chan-O-Cha merebut kekuasaan melalui kudeta pada Mei 2014, awalnya ia mengatakan berharap bisa menggelar pemilu dalam masa 15 bulan.

Namun jadwal itu berulangkali meleset sementara junta berusaha menyusun kembali konstitusi negara, sebuah proses yang oleh para kritikus digambarkan sebagai upaya mengkonsolidasikan kendali kelompok elit yang tidak terpilih atas politik di Thailand, begitu pemilu baru digelar.

Junta sebelumnya mengatakan pemilu kemungkinan akan dilakukan pada pertengahan 2016, namun jadwal itu tidak memasukkan proses referendum.

Militer Thailand menggulingkan pemerintahan terpilih Yingluck Shinawatra pada Mei 2014 setelah berlangsungnya unjuk rasa selama berbulan-bulan yang melumpuhkan pemerintahan.

Konstitusi Thailand sudah mengalami lebih dari selusin kali penyusunan ulang sejak berakhirnya masa monarki absolut pada 1932 -- seringkali dilakukan setelah adanya kudeta militer.

Prayut bersikukuh bahwa inkarnasi konstitusi yang terbaru ini --yang didukung oleh gerakan anti-korupsi-- akhirnya akan mengakhiri kelumpuhan politik negara.

Berdasar draf konstitusi, pemilu di masa depan akan ditentukan oleh sistem perwakilan proporsional, serupa dengan sistem di Jerman yang akan menguntungkan partai-partai kecil dan pemerintahan koalisi.

Namun untuk mencegah lemahnya legislatif dibawah pemerintahan koalisi, perdana menteri tidak harus dipilih langsung oleh rakyat dan anggota legislatif juga akan dilarang menjadi menteri untuk memperkecil pengaruh mereka.

Pihak-pihak yang menentang UUD baru tersebut mengatakan, adalah langkah kasar untuk menyingkirkan keluarga Shinawatra dari politik di masa depan --bukannya membangun kembali masyarakat Thailand yang terpecah belah.

Partai-partai yang dipimpin atau beraliansi dengan keluarga Thaksin Shinawatra memenangi setiap pemilu sejak 2001, sehingga memicu terjadinya dua kali kudeta yang didukung oleh kelompok mapan dan konflik selama hampir satu dekade yang seringkali berkembang menjadi bentrokan. (Antara/AFP)

REKOMENDASI

TERKINI